Jumat, 10 Agustus 2012

Islam di Fase Kerajaan

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena hanya dengan rahmat dan hidayah-Nya jualah Penulis dapat menyelesaikan makalah Mata Kuliah Agama  (SIAT) yang berjudul Islam pada Fase Kerajaan di Indonesia

Makalah ini disusun agar pembaca dapat mengetaui Islam pada fase kerajaan, Makalah ini penulis sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber. Penulis juga sangat berterima kasih pada pihak-pihak yang membantu penyelesaian makalah ini.

Penulis sadar bahwa makalah ini penuh dengan kekurangan dan masih jauh dari sempurna.. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Sumbang saran dari pembaca sangat diharapkan demi perbaikan selanjutnya. Terima kasih.
                                                           
                                   
                                                            Pekanbaru, 13 April 2012
                                                                                                                        Penulis,

                                                                       
                                                                                                           













DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................    i
DAFTAR ISI...........................................................................................................    ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................... 1
1.1    Latar Belakang..................................................................................                .    2
1.2    Rumusan Masalah..................................................................................           .    3
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................  .    3
2.1    Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Sumatera.........................................         .    4
2.2    Tumbuh dan Berkembangnya Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa..................      .    14       
2.3    Tumbuh dan Berkembangnya Kerajaan-Kerajaan Islam di Kalimantan,
Maluku dan Sulawesi....................................................................................    .    20
2.4    Kesultanan Johor-Riau dan Riau Lingg.................................................                   23
2.5    Hubungan Politik dan Keagamaan antara Kerajaan-Kerajaan Islam............            27
2.6    Tiga Pola “Pembentukan Budaya” Yang Terlihat Dalam
Proses Pembentukan Negara:Aceh,Sulawesi Selatan dan Jawa...................            28
2.7    Kondisi Politik Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia............................                 29
BAB III PENUTUP..............................................................................................        36
3.1    Kesimpulan.....................................................................................................       36
3.2    Saran..................................................................................................                   36
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................      37

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang

Sejak zaman prasejarah, penduduk kepulauan Indinesia dikenal debagai pelayar-pelayar yang sanggup mengarungi lautan lepas. Sejal awal abad Masehi sudah ada rute-rute pelayaran dan perdagangan antara kepulauan Indonesia dengan berbagai daerah di daratan Asia Tenggara. Wiyah barat Nusantara dan sekitar Malaka sejak masa kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian, terutama karena hasil bumi yang dijual disana menarik bagi para pedagang, dan menjadi daerah lintasan penting antara  Cina dan India. Sementara itu, pala dan cengkeh yang berasal dari Maluku, dipasarkan di Jawa dan Sumatera, untuk kemudian dijual pada pedagang asing. Pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatera dan Jawa antara abad ke-1 dan ke-7 M sering disinggahi pedagang asing, seperti Lamuri (Aceh) Barus dan Palembang di Sumatera, Sunda Kelapa dan Gresik.
Pedagang-pedagang muslim Asal Arab, Parsi dan India juga ada yang sampai kepulauan untuk berdagang sejak abad ke-7 M , ketika Islam pertama kaliberkembang di Timur Tengah. Malaka, jauh sebelum ditaklukkan Portugis (1511), merupakan pusat utama lalu lintas perdagangan dan pelayaran. Melalui Malaka, hasil hutan dan rempah-rempah dari seluruh pelosok Nusantara dibawa ke Cina dan India, terutama Gujarat perjalanan laut melintasi laut Arab. Dari sana perjalanan bercabang dua. Jalan pertama di sebelah utara menuju Teluk Oman melalui Selat Ormus ke Teluk Parsi. Jalan kedua melalui Teluk Aden dan Laut Merah, dan dari kota Suez jalan perdagangan harus melalui daratan ke kairo dan Iskandariah. Melalui jalan pelayaran tersebut  kapal-kapal Arab, Parsi dan India mondar-mandir dari barat ke Timur dan terus ke negeri Cina dengan menggunakan angin musim untuk pelayaran pulang perginya.
Ada indikasi bahwa kapal-kapal Cina pun mengikuti jalan yersebut sesudah abad ke-9 M tetapi tidak lama kemudian kapal-kapal tersebut hanya sampai di pantai barat India, karena barang-barang yang diperlukan sudah dapat dibeli disini. Kapal-kapal Indonesia juga mengambil bagian dalam perjalanan niaga tersebut. Pada zaman Sriwijaya pedagang-pedagang Nusantara mengunjungi pelabuhan-pelabuhan Cina dan pantai Timur Afrika.
Menurut J.C. Van Leur berdasarkan berbagai cerita perjalanan dapat diperkirakan bahwa sejak 674 M ada kolonial-kolonial Arab di barat laut Sumatera, yaitu di Barus, daerah penghasil kapur barus terkenal. dari berita  Cina diketahui bahwa di mas adinasti Tang (abad ke 9-10) orang-orang Ta-Shih ada di Kantotn (Kan-fu) dan Sumatera. Ta- Shih adalah sebutan untuk orang-orang Arab dan Parsi, yang ketika itu jelas sudah menjadi muslim. Perkembangan pelayaran dan perdagangan yang bersifat internasional antara negeri-negeri di Asia bagian barat dan timur mungkin disebabkan oleh kegiatan kerajaan Islam dibawah Bani Umayyah di bagian barat dan kerajaan Cina zaman dinasti Tang di Asia bagian timur serta kejayaan Sriwijya di Asia Tenggara. Akan tetapi, menurut Taufik  Abdullah, belum ada bukti bahwa pribumi Indonesia di tempat-tempat yang disinggahi oleh para pedagang muslim itu yang beragama Islam. Adanya koloni itu, diduga sejauh yang paling bisa dipertanggungjawabkan, ialah para pedagang Arab tersebut hanya berdiam untuk menunggu musim yang baik bagi pelayaran.
Baru pada zaman-zaman berikutnya penduduk kepulauan ini masuk islam,tentu bermula dari  penduduk pribumi di koloni-koloni pedagang muslim itu. Menjelang abad ke-13 M, masyarakat musim sudah ada di Sumatera Pasai, Perlak dan Palembang di Sumatera. Di Jawa, makam Fatimah binti Maimun di Leran (Gresik) yang berangka tahun 475 H (1082 M), dan makam-makam Islam di Tralaya yang berasal dari abad ke-13 M merupakan bukti berkembangnya komunitas Islam, termasuk di pusat kekuasaan Hindu-Jawa ketika itu, Majapahit. Namun, sumber sejarah yang sahih yang memberikan kesaksian sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan tentang berkembangnya masyarakat   Islam di Indonesia, baik berupaprasasti dan histografi tradisional maupun berita asing, baru terdapat ketika “komunitas Islam” berubah menjadi pusat kekuasaan.
Sampai berdirinya kerajaan-kerajaan Islam itu, perkembangan agama Islam di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga fase, (1) Singgahnya pedagang-pedagang Islam di pelabuhan- pelabuhan Nusantara. Sumbernya adalah berita luar negeri, terutama Cina (2) Adanya komunitas-komunitas Islam di beberapa daerah kepulauan Indonesia. Sumbernya, di samping berita-berita asing, juga makam-makam Islam, dan (3) Berdirinya kerajaan-kerajaan Islam.

1.2    Rumusan Masalah

1.2.1        Kondisi politik kerajaan-kerajaan di Indonesia
1.2.2        Islam masuk ke Indonesia
1.2.3        Sebab-sebab Islam mudah diterima di masyarakat



BAB II
PEMBAHASAN

Perkembangan Islam awal di Asia Tenggara pat diklasifikasikan menjadi tiga fase. Pertama fase singgahnya para pedagang muslim dipelabuhan-pelabuhan Asia Tenggara,kedua adanya komunitas-komunitas Muslim dibeberapa daerah di Nusantara, ketiga adalah fase berdirinya kerajaan-kerajaan Islam.
Proses Islamisasi massif di Asia Tenggara tidak dapat dilepaskan dari peranan kerajaan Islam (kesultanan). Berawal ketika raja setempat memeluk Islam, selanjutnya diikuti para pembesar istana, kaum bangsawan dan kemudian rakyat jelata. Dalam perkembangan selanjutnya, kesultanan memainkan peranan penting tidak hanya dalam pemapanan kesultanan sebagai institusi politik Muslim, pembentukan dan pengembangan institusi-institusi Muslim lainnya, seperti pendidikan dan hukum (peradilan agama) tetapi juga dalam peningkatan syiar dan dakwah Islam.
Sejak kehadirannya,kesultanan Islam menjadi kekuatan vital dalam perdagangan bebas internasional. Anthony Reid bahkan menyebutkan masa kesultanan Islam Nusantara sebagai the age of commerce (masa perdagangan). Dalam masa perdagangan bebas internasional ini,kesulatanan mencapai kemakmuran yang pad gilirannya sangat menentukan bagi perkembangan Islam secara keseluruhan di Asia Tenggara.
Diantara kerajaan Islam dimaksud adalah kerajaan Samudera Pasai, Kesultanan Malaka,Kesultanan Aceh Darussalam dan Palembang. Di Jawa juga terdapat kerajaan Islam yaitu Kesultanan Demak yang dilanjutkan oleh Kesultanan Pajang,Kesultanan Mataram,Kesultanan Cirebon dan Banten. Kerajaan Islam di Kalimantan dan Sulawesi antara lain Kerajaan Gowa-Tallo,Kerajaan Buton dan Kerajaan Bone,Wajo,Soppeng dan Luwu. Institusi Islam lainnya di Kalimantan adalah Kesultanan Sambas, Pontianak, Banjar, Pasir, Bulungan, Tanjungpura, Mempawah,Sintang dan Kutai.
 Contoh lain adalah Kerajaan Ternate. Islam masuk ke kerajaan di Kepulauan Maluku pada tahun 1440. Rajanya seorang Muslim bernama Bayang Ullah. Walaupun rajanya sudah masuk Islam namun vbelum menerapkan Islam sebagai institusi politik. Kesultanan Ternate baru menjadi Institusi politik Islam setelah Kerajaan Ternate menjadi Kesultanan Ternate dengan Sultan pertamanya Sultan Zainal Abidin pada tahun 1486. Kerajaan lain yang menjadi representasi Islam di Maluku adalah Tidore dan Kerajaan Bacan. Selain iu,berkat dakwah yang dilakukan Kerajaan Bacan banyak kepala-kepala suku di Papua yang memeluk Islam. [1]

1.1    Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Sumatera

Aceh yang secara geografis terletak di utara pulau Sumatera,dipandang sebagai daerah pertama yang menerima Isam di Nusantara. Konon kerajaan Islam Perlak telah berdiri sejak abad ke-9 M. Pendapat ini dikemukakan antara lain oleh Yunus Jamil dan Hasymi yang konon telah didirikan pada 225H/845M. Pendirinya adalah para pelaut pedagang Muslim asal Parsi,Arab dan Gujarat yang mula-mula datang untuk mengIslamkan penduduk setempat. Namun menurut Azra,sampai saat ini belum ada bukti akurat yang bisa dipegangi,bahwa pada pertengahan abad ke-9M telah terdapat entitas politik Muslim di kawasan ini yang disebut “Kesultanan Perlak”.[2]
1.        Kerajaan Samudera Pasai






Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudera Pasai yang merupakan kerajaan kembar. Kerajaan ini terletak di pesisir Timur Laut Aceh. Kemunculannya sebagai kerajaan Islam diperkirakan mulai awal atau peretengahan abad ke-13 M,sebagai hasil dari proses Islamisasi daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi pedagang-pedagang Muslim sejak abad ke-7 M, ke-8 M dan seterusnya. Bukti berdirinya kerajaan Samudera Pasai pada abad ke-13 M itu didukung oleh adanya nisan kubur terbuat dari granit asal Samudera Pasai. Dari nisan itu,dapat diketahui bahwa raja pertama kerajaan itu meninggal pada bulan Ramadhan tahun 696 H, yang diperkirakan bertepatan dengan tahun 1297 M.
Malik Al-Saleh, raja pertama merupakan pendiri kerajaan tersebut. Hal itu diketahui melalui tradisi Hikayat Raja-raja Pasai,Hikayat Melayu dan juga hasil penelitian atas beberapa sumber yang dilakukan sarjana-sarjana Barat, khususnya para sarjana Belanda,seperti Snouck Hurgronye,J.P. Molqurtte, J.L.Moens, J.Hushoff Poll, G.P.Rouffaer, H.K.J.Cowan, dn lain-lain.
Dari segi peta politik, munculnya kerajaan Samudera Pasai abad ke-13 M itu sejalan dengan suramnya peranan maritim Kerajaan Sriwijaya, yang sebelumnya memegang peranan penting di kawasan Sumatera dan sekelilingnya.Dalam Hikayat Raja-raja Pasai disebutkan gelar Malik Al-Saleh sebelum menjadi raja adalah Merah Sile atau Merah Selu. Yang masuk Islam berkat pertemuannya dengan Syaikh Ismail, seseorang utusan Syarif Mekah, yang kemudian memberinya gelar Sultan Malik Al-Saleh. Nisan kubur itu didapatkan di Gampong Samudera bekas kerajaan Samudera Pasai tersebut.Merah Selu adalah putra Merah Gajah. Nama Merah Merupakan gelar bangsawan yang lazim di Sumatera Utara. Selu kemungkinan berasal dari kata Sungkala yang aslinya berasal dari Sanskarit Chula. Kepemimpinannya yang menonjol menempatkan dirinya menjadi raja.
Dari hikayat itu, terdapat petunjuk bahwa tempat pertama sebagai pusat kerajaa Samudera Pasai adalah Muara Sungai Peusangan sebuah sungai yang cukup panjang dan lebar di sepanjang jalur pantai yang memudahkan perahu-perahu dan kapal-kapal yang mengayuhkan dayungnya ke pedalaman dan sebaliknya. Ada dua kota yangterletak berseberangan di muara sungai Peusangan itu, Pasai dan Samudera. Kota Samudera terletak agak lebih ke pedalaman, sedangkan kota Pasai terletak lebih ke muara. Ditempat yang terakhir inilah terletak beberapa makam raja-raja.
Pendapat bahwa Islam sudah berkembang di sana sejak  awal abad ke-15 M, didukung oleh berita Cina dan Ibnu Batutah, seorang pengembara terkenal asal Maroko, yang pada pertengahan abad ke-14 M (tahun 746H/135M) mengunjungi Samudera Pasai dalam perjalanannya dari Delhi ke Cina. Ketika itu Samudera Pasai diperntah oleh Sultan Malik Al-Zahir putra Sultan  Malik Al-Saleh. Menurut sumber-sumber Cina, pada awal yahun 1282 M kerajaan kecil Sa-mu-ta-la (Samudera) mengirim kepada raja Cina duta-duta yang disebut dengan nama-nama muslim yakni Husein dan Sulaiman. Ibnu Batutah menyatakan bahwa Islam sudah hampir satu abad lamanya disiarkan disana. Ia meriwayatakan kesalehan, kerendahan hati, dan semangat keagamaan rajanya yang seperti rakyatnya mengikuti mazhab Syafi’i. Berdasarkan beritanya pula, kerajaan Samudera Pasai ketika itu merupakan pusat studi agama Islam dan tempat berkumpul ulama-ulama dari berbagai negeri Islam untuk berdiskusi masalah keagamaan dan keduniaan.
Dalam kehidupan perekonomiannya, kerajaan maritim ini tidak mempunyai basis agraris. Basis perekonomiannya adalah perdagangan dan pelayaran. Pengawasan terhadap perdagangan dan pelayaran itu merupakan sendi-sendi kekuasaan yang memungkinkan kerjaan memperoleh penghasilan dan pajak yang besar. Tome Pires menceritakan, di Pasai ada mata uang dirham. Dikatakan bahwa setiap kapal yang membawa barang-barang dari Barat dikenakan pajak 6 %. Samudera Pasai pada waktu itu ditinjau dari segi georafis dan sosial ekonomi, memang merupakan suatu daerah yang penting sebagai penghubung pusat-pusat perdagangan di kepulauan Indonesia, India, Cina dan Arab. Ia merupakan pusat perdagangan yang sangat penting. Adanya mata uang itu membuktikan bahwa kerajaan ini pada saat itu merupakan kerajaan yang makmur.
Mata uang dirham dari Samudera Pasai tersebut pernah diteliti oleh H.K.J. Coan utnuk menunjukkan bukti-bukti sejarah raja-raja Pasai. Mata uang tersebut menggunakan nama-nama Sultan Alauddin, Sultan Manshur Malik Al-Zahir, Sultan Abu Zaid, dan Abdullah. Pada tahun 1973 M, ditemukan lagi 11 mata uang dirham diantaranya bertuliskan nama Sultan Muhammad Malik Al-Zahir, Sultan Ahmad, dan Sultan Abdullah, semuanya adalah raja-raja Samudera Pasai pada abad ke-14 dan 15 M. [3]
            Kerajaan islam tertua ini menjadi pusat kegiatan keagamaan yang utama di kepulauan Nusantara kala itu. Disini pula peradaban dan kebudayaan islam tumbuh dan mekar. Sebagai kota dagang yang makmur dan pusat kegiatan keagamaan yang utama di kepulauan Nusantara, Pasai bukan saja menjadi tumpuan perhatian para pedagang Arab dan Parsi, tetapi juga menaik perhatian para ulama dan cendikiawan dari negeri Arab dan Parsi untuk datang ke kota ini dengan tujuan menyebarkan agama dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Dalam kitab Rihlah, Ibnu Batutah yang mengunjungi Sumatera, memberitakan bahwa raja dan bangsawan Pasai sering mengundang para ulama dan cerdik pandai dari Arab dan Parsi untuk membincangkan berbagai perkara agama dan ilmu-ilmu agama di istananya. Karena mendapat sambutan hangat itulah mereka senang tinggal di Pasai dan membuka lembaga pendidikan yang memungkinkan pengajaran Islam dan ilmu agama berkembang.
            Ilmu-ilmu yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan Islam antara lain ialah dasar-dasar ajaran Islam, hukum Islam, Ilmu Kalam atau Teologi, Ilmu Tasawuf, Ilmu Tafsir, dan Hadis, dan berbagai ilmu pengetahuan lain yang penting bagi penyebaran agama Islam seperti ilmu hisab, Mantiq (logika), nahwu (tata bahasa Arab), sejarah, astronomi, ilmu ketabiban dan lain-lain. Selain ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum, kesusastraan Arab dan Parsi turut pula diajarkan. Salah satu karya intelektual yang dihasilkan di Pasai ialah Hikayat Raja-raja Pasai. Kitab ini ditulis pada tahun 1365. Menurut Hadi W.N. dari sudut corak bahasa melayu dan aksara yang digunkan, karya ini rampung dikerjakan pada saat bahasa Melayu telah benar-benar mengalami proses islamisasi, dan aksara Arab-Melayu telah mulai mantap dan luas digunakan. Selanjutnya bahasa Melayu Pasai dan aksara Arab-Melayu Pasai inilah yang digunakan oleh para penulis Muslim di Asia Tenggara sehingga akhir abad ke-19 M sebagai bahasa pergaulan intelektual, perdagangan dan administrasi.
            Sebuah kitab Tasawuf Durr al-Manzum karangan Maulana Abu Ishaq telah diterjemahkan dalam bahasa melayu oleh Abdullah Patakan, seorang ulama terkenal dari Pasai memenuhi permintaan Masyur Syah, Sultan Malaka pertengahan abad ke-15 M. Baik penyaduran maupun terjemahan karya-karya Arab-Parsi ini dilakukan dalam rangka pribumisasi Kebudayaan Islam, agar kebudayaan islam tidak asing bagi masyarakat Asia Tenggara. Dengan demikian Islam dapat dijadikan cermin dan rujukan untuk memandang, memahami dan menafsirkan realitas kehidupan. Kerajaan Samudera Pasai muncul seiring dengan mundurnya peranan maritim kerajaan Sriwijaya, yang sebelumnya memegang peranan penting dikawasan Sumatera dan sekelilingnya. [4]
            Nama-nama raja Kerajaan Samudera Pasai beserta urutannya, sebagai berikut:
1.        Sultan Malik Al-Saleh yang memerintah sampai tahun 1207 M
2.        Muhammad Malik Al-Zahir (1297-1326 M)
3.        Muhammad Malik Al-Zahir (1326-1345 M)
4.        Manshur Malik Al-Zahir (1345-1346 M)
5.        Ahmad Malik Al-Zahir (1346-1383 M)
6.        Zain Al-Abidin Malik Al-Zahir (1383-1405 M)
7.        Nahrasiah (1402-?)
8.        Abu Zaid Malik al-Zahir (?-1455 M)
9.        Mahmud Malik Al-Zahir (1455-1477 M)
10.    Zain Al-Abidin (1477-1500 M)
11.    Abdullah Malik Al-Zahir (1501-1513 M)
12.    Zain Al-Abidin (1513-1524 M)

Keajaan Samudera Pasai berlangsung sampai tahun 1524 M. Pada tahun 1521 M kerajaan ini ditaklukkan oleh Portugis yang mendudukinya selama 3 tahun, kemudian tahun 1524 M dianeksasi oleh raja Aceh, Ali Mukhayatsyah. Selanjutnya kerajaan Samudera Pasai berada di bawah pengaruh kesultanan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam.   [5]
Peninggalan Sejarah Samudera Pasai, antara lain adalah sebagai berikut:
1.    Batu Nisan                                                               2. Makam Raja Kerajaan Samudera Pasai







2.        Kerajaan Aceh Darusslam
a.         Kedatangan dan Penetrasi Islam
Aceh yang secara geografis terletak di utara pulau Sumatera, dipandang sebagai daerah pertama yang menerima Islam di Nusantara. Konon sejak kerajaan Islam Perlak  berdiri sejak abad ke-9 M. Kerajaan Islam berikutnya   Samudera Pasai yang berdiri sejak akhir abad ke-13 M. Sementara Kesultanan Aceh Darussalam disuga berdiri pada abad ke-15 M diatas puing-puing kerajaan Lamuri oleh Sultan Muzaffar Syah (1465-1497 M). Menurut Anas Machmud, dialah yang membangun kota Aceh Darussalam, dan pada masa pemerintahannya Aceh mengalami kemajuan dalam bidang pedagangan karena saudagar-saudagar Muslim yang sebelumnya berdagang dengan Malaka memindahkan kegiatan mereka ke Aceh, setelah Malaka dikuasai Portugis (1511 M).
Namun demikian, H.J. deGraaf dan Denys Lombard dengan mengutip Tome Pires menyebutkan bahwa sultan pertama kerajaan Aceh adalah Ali Mughayat Syah. Tidak diketahui kapan ia naik tahta kerajaan ini. Ia digambarkan oleh Tome Pires sebagai seorang raja Muslim yang gagah perkasa yang berhasil menggabungkan beberapa pelabuhan dagang di bawah kekuasaannya. Pada masa pemerintahannya, Ali Mughayat Syah meluaskan wilayah kekuasaannya ke daerah Pidie yang bekerjasama dengan Portugis, kemudian ke Pasai pada tahun 1524 M. Dengan kemenangannya terhadap dua kerajaan tersebut, ia dengan mudah dapat melebarkan sayap kekuasaannya ke Sumatera  Timur. Keberhasilannya dalam menguasai beberapa wilayah dan menggabungkannya menjadi Kesultanan Aceh Darussalam itulah yang menyebabkan ia dianggap sebagai pendiri kekuasaan Aceh sesungguhnya. Ali Mughayat Syah digantikan oleh anak sulungnya, Salad ad-Din (1528-1537 M). Ia menyerang Malaka pad tahun 1537, tetapi mengalami kegagalan. Salad ad-Din digantikan oleh saudaranya, Alauddin Ri’ayat Syah al-Kahhar (1537-1568). Pada masa pemerintahannya, ia berhasil menaklukkan Aru dan Johor, bahkan dengan bantuan persenjataan Dinasti Ottoman, ia menyerang  Portugis di Malaka.  Alauddin Ri’ayat Syah digantikan oleh Sultan Ali Riayat Syah (1568-1573), kemudian Sultan Seri Alam, Sultan Muda (1604-1607), dan  Iskandar Muda, gelar Mahkota Alam (1607-1636).
Dari Kesultanan ini, Islam kemudian tersebar ke berbagai negeri-negeri Melayu lainnya. Pengaruh dan kekuasaan kesultanan Aceh Darussalam pada masa itu sangat  dirasakan di kepulauan Sumatera dan semenanjung tanah Melayu, terutama ketika kesultanan itu dibawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1608-1637). Seluruh sarangan yang dilancarkan pihak Portugis dapat ditangkis oleh sultan-sultan Aceh. Mereka juga telah menanamkan pengaruh Islam. Islampun berkembang dengan pesat dan mendapat dukungan dari penguasa di Haramayn (Mekah dan Madinah), dan memperoleh keabsahan dari sana.
Berbeda dengan daerah lainnya di Nusantara, dalam sejarah dan tradisi Aceh, pusat kekuasaan didirikan dan diyakini sebagai diberi dasar oleh Islam. Dengan kata lain, Islamlah yang memberi dasar bagi adanya pusat kekuasaan itu, Islam berkembang seiring dengan berdirinya kerajaan itu. Ini berbeda dengan Malaka, Makassar dan kota-kota partai lainnya, dimana proses Islamisasi di pusat kerajaan terjadi ketika pedagang Islam yang menguasai kehidupan kota berhasil menarik “raja yang kafir” untuk masuk Islam. Jika di Jawa, pusat kekuasaan (kraton dikalahkan oleh Islam dari pinggiran (Majapahit dikalahkan oleh aliansi Demak-Kudus), maka Aceh tidak mengenal konfrontasi kekuasaan seperti itu. Kesultanan Aceh Darussalam didirikan atas dasar Islam, Islamlah yang menjadi dasar bagi adanya kekuasaan kesultanan itu. Dengan demikian penguas kesultanan Aceh tidaklah terjerat oleh keharusan untuk melanjutkan sistem dan tradisi lama, melainkan mendapat kesempatan untuk merumuskan tradisi baru yang relatif terlepas dari keharusan doktrin dan kenyataan sosial yang ada sebelumnya. Demikianlah, sementara definisi keIslaman diperteguh, yang mencapai puncaknya di abad ke-17, pengaturan sistem kekuasaan yang relevanpun dirintis pula.
b.      Kejayaan Aceh dalam Bidang Ekonomi, Politik dan Agama
Kesultanan Aceh Darussalam menjadi kerajaan Islam terbesar di Nusantara dan kelima terbesar di dunia pada abad ke-15 M. Pendapat senada juga dikemukakan oleh A.H. Johns bahwa Aceh adalah negara kota Islam terpenting di dunia Melayu antara abad ke-15 dan 17 disamping Malaka. Kemajuan kesultanan Aceh mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-17. Hal ini agaknya sangat terpengaruh oleh kemunduran kerajaan Malaka yang mengalami pendudukan orang-orang Portugis. Antara lain karena, karena saudagar-saudagar Muslim yang sebelumnya berdagang dengan Malaka memindahkan kegiatan mereka ke Aceh, setelah Malaka dikuasai Portugis (1511 M). Ketika Malaka jatuh tahun 1511, daerah  pengaruhnya di Sumatera mulai melepaskan diri. Di bawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah (1511-1530), Aceh mulai melebar kekuasaannya ke daerah sekitarnya, bahkan kesultanan ini berhasil mengusir Portugis dari Pasai tahun 1524. Pada puncak kemegahannya, hegemoni politik kesultanan ini mencapai pesisir barat Minangkabau dan mencakup Pedit, Pasai, Perlak, Deli, Johor, Kedah, Pahang, dan lain-lain.
Dalam bentuk pemerintahan negara kota abad ke-17, Aceh bukan saja jauh lebih dikenal, tetapi menurut A.H. Johns, berdasarkan semua bukti yang ada nampaknya Aceh sangat penting. Aceh menjadi pusat perkembangan sebuah kerajaan maritim yang perkasa yang sangat Islami dan mandiri dalam perdagangan. Kesultanan ini juga punya hubungan internasional yang luas jangkauannya. Sejauh menyangkut hubungan dengan Timur Tengah, tidak ada negara-negara lain di Nusantara yang mempunyai hubungan-hubungan politik dan diplomatik yang begitu intens dengan kerajaan-kerajaan Islam di Mughal, Persia, dan Turki Utsmani kecuali Aceh. Dengan jalinan persahabatan itu, Turki Utsmani membantu Aceh tidak hanya di bidang militer tetapi juga di bidang politik yang diindikasikan melalui pengakuan terhadap Aceh sebagai bagian dari Khilafah Islam. Oleh karena itu, posisi Aceh pada abad ke-16 diakui di dunia Islam secara Internasional. Agaknya, alasan inilah yang dijadikan sejarawan sebagai argumen untuk menyatakan Aceh sebagai salah satu negara Muslim terkemuka di dunia saat itu.
Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masa itu. Aceh dikenal memiliki sumber daya alam yang kaya. Selain dikenal sebagai penghasil kapur barus dan menyan, juga dikenal sebagai penghasil timah dan rempah-rempah seperti lada dan kopi. Aceh juga menempati letak strategis dengan posisinya sebagai pusat pelabuhan dagang dan jalur transportasi dengan negara-negara lain. Letak strategis pusat pemerintahan kesultanan Aceh Darussalam ditambah lagi oleh kekayaan sumber daya alamnya telah pula menghantarkannya menjadi negara kota yang makmur dan sejahtera.
Dilihat dari aspek pengembangan agama Islam, peran Aceh tak dapat diabaikan. Seiring dengan kemajuan dan kemakmurannya dalam bidang ekonomi, politik dan budaya, maka perkembangan pemikiran keagamaan serta penyebaran dakwah Islampun semakin meningkat. Kemajuan kerajaan Aceh dalam bidang agama ditandai dengan munculnya Aceh sebagai kiblat pengajaran Islam. Aceh ketika itu menjadi center ilmu pengetahuan di Asia Tenggara yang melahirkan nama-nama para intelektual Muslim atau ulama-ulama terkenal seperti Hamzah Fansuri (w.1600), Syamsuddin al-Sumatrani (w.1630), Nuruddin al-Raniri (w.1657), dan Abdul Rauf al-Sinkili (w.1660). Sekitar abad ke-17/18 M, keempat tokoh tersebut telah mewarnai sejarah pemikiran keagamaan kesultanan Aceh. Dua nama terakhir, al-Raniri dan al-Sinkili, adalah dua dari tiga mata rantai utama dari jaringan ulama di wilayah Melayu Indonesia dengan Timur Tengah yang mempunyai peranan penting dalam menghadirkan pembaharuan-pembaharuan keagamaan, dan dalam membawa tradisi besar Islam ke wilayah Melayu Indonesia dengan menghalangi kecendrungan kuat pengaruh tradisi lokal ke dalam Islam.
Selain itu, Aceh berperan pula sebagai pintu gerbang ke tanah suci bagi para penziarah dan pelajar jawi yang menuju ke Mekah, Madinah dan pusat-pusat  pengetahuan di Mesir serta bagian-bagian lain dari kesultanan Turki, sehingga tak heran bila Aceh dijuluki sebagai Serambi Mekah. Peran ini membuat Aceh berhubungan erat dengan kota-kota pelabuhan Muslim yang lain dari Nusantara. Selain itu, Aceh juga berperan sebagai tempat pertemuan ulama dan intelektual Muslim dari berbagai Dunia Melayu dan Muslim dari Timur Tengah. Singkatnya, kehidupan intelektual keagamaan berkembang sangat baik di kesultanan ini sehingga menjadikanny berfungsi sebagai senter intelektualisme Islam abad ke-17, sebagai pusat berkembangnya ajaran dan pemikiran Islam di Asia Tenggara.
Sejauh menyangkut hukum, A.C. Milner menyebutkan secara implisit, bahwa syariat menjad sumber hukum kala itu. Para pengunjung Eropa sering menyebutkan tentang penggunaan hukum Islam seperti hukum potong tangan,hukum cambuk,pelarangan riba dan penghapusan siksaan kuno yang dipandang bertentangan dengan Islam seperti pencelupan ke dalam minyak panas dan menjilat besi yang panasmemerah bagi pelanggaran hukum. Dilihat dari pelaksanaan doktrin hukum Islam, serta pengaruh politik agama ini dalam sistem dan struktur kesultanan, dapat disimpulkan bahwa kesultanan Aceh Darussalam merupakan sebuah bentuk negara Islam “(Islamic state)”.
Dalam sistem pemerintahan, terdapat jabatan Kadhi Malikul Adil  yang harus dijabat oleh ahli hukum agama. Selain itu, kedudukan ulama walau tidak menjadi  bagian dari struktur kekuasaan yang utama tetapi mempunyai peran yang dominan dalam menentukan kebijakan-kebijakan pemerintah karena perannya sebagai penasehat sultan.
Di masa Sultan Iskandar Tsani, para ulama besar mulai meletakkan dasar bagi corak pengaturan sosial. Diantaranya adalah kemitraan antara pemegang otoritas politik dan pemegang otoritas spritual di seluruh tingkat pemerintahan. Seorang Sultan bukan saja harus didampingi oleh Kadhi Malikul Adil, seorang pejabat negara dalam persoalan hukum, dan seorang ulama besar, sebagai penasehat rohani, tetapi pada pemerintahan tingkat gampong-pun seorang keucik (kepala desa) harus didampingi oleh imam Meunasah disamping apa yang disebut Tuha-peut (para ketua desa). begitu juga pada tingkat mukim, (lurah) seorang Imeum mukim didampingi, diawasi dan dikontrol oleh “miniparlemen” yang dikenal dengan istilah tuha-lapan. Jika dikampung, kepala desa dianggap ayah sementara imam maunasah harus dianggap ibu, pada tingkat kesultanan dikenal aturan “adat bok poteu meureuhom,hukom bok Syiah kuala”kekeuasaan adat ada ditangan sultan, ketentuan hukum (keagamaan) ada ditangan Syiah Kuala. Namun demikian wewenang antara kedua wilayah ini tidaklah sama sekali terpisah. Sering sekali sebelum sultan atau ulue balang membuat keputusan, ia harus terlebih dahulu bermusyawarah dengan para ulama dan orang-orang tua. Dengan demikian dapat dipertimbangkan apakah suatu putusan sah atau tidak menurut pandangan agama,sehingga pengaruh Islam sangat besar sekali pada adat istiadt Aceh.
Pada saat ini, ulama-ulama besar Aceh menghasilkan karya-karya besar yang mondial dimana selanjutnya mempengaruh pemikiran Islam di seluruh nusantara. Saat itu terdapat jumlah karya-karya keagamaan yang mencolok menurut standar Melayu yang dihasilkan di bawah pengawasannya, baik yang orisinal atau yang berbentuk terjemahan.

c.    Empat Ulama Besar Aceh
Aceh dalam sejarahnya pernah menjadi center ilmu pengetahuan di Asia Tenggara yang melahirkan nama-nama para intelektual Muslim atau ulama-ulama terkenal seperti Hamzah Fansuri (w.1600),Syamsuddin al-Sumatrani (w.1630),Nuruddin al-Raniri (w.1657) dan Abdul Rauf al-Sinkli (w.1660).
Hamzah Fansuri adalah seorang sufi terkemuka,satrawan besar,pengembara dan ahli agama. Dia dilahirkan ditanah Fansuri atau Barus dan diperkirakan hidup antara pertengahan abad ke-16 dan 17 M, Hamzah Fansuri mempelajari tasawuf setelah menjadi anggota tarekat Qadiriyah yang didirikan oleh Syekh Abdul Qadir Jailani dan di dalam tarekat ini Ia dibai’at.
Ada tiga risalah tasawuf karangan al-Fansuri yang dijumpai, yaitu Syarab al-‘Asiqin (Minuman orang Birahi),Asrar al-Arifin (Rahasia ahli Ma’rifat) dan al-Muntahi. Sealain itu juga dijumpai tidak kurang dari 32 ikatan-ikatan atau untaian syair digubahnya. Syair-syairnya dianggap sebagai ‘syair Melayu’ pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu baru.
Tentang Syamsuddin al-Sumatrani, tidak banyak informasi yang didapat menyangkut kehidupannya. Ia juga memegang   jabatan sebagai penasehat agama di kesultanan Aceh.  Syamsuddin adalah penulis  produktif dan dan menguasai beberapa bahasa. Dia menulis dalam bahasa Melayu dan sebagian besar karya-karyanya berkaitan dengan kalam dan tasawuf.
Periode sebelum kedatangan ar-Raniri merupakan masa di mana Islam mistik, terutama dari aliran Wujudiyah berjaya, bukan hanya di Aceh tetapi juga di banyak bagian wilayah Nusantara. Yang berkembang saat itu adalh satu faham tasawuf yang bersifat pantheistik dan anti dunia yang yang terutama dikembangkan oleh Ibnu Arabi (w.1240). Setelah kedatangan Nuruddin ar-Raniri, muncul gerakan-gerakan pembaharuan tasawuf yang hasilnya adalah munculnya suatu bentuk tasawuf yang diistilahkan dengan neo-sifisme, yaitu suatu bentuk tasawuf yang merekonsiliasi dan mengharmoniskan antara syariat dan tasawuf.[6]
Ulama besar Aceh lainnya adalah Abdurrahman al-Singkili. Al-Singkili hidup dalam enam periode kesultanan Aceh: Sultan Iskandar Muda, Iskandar Tsani,Sultanah Safiat al-din, Sultanah Nakiyat al-Din, Sultanah Zakiyat al-Din, dan Sultanah Kamal al-Din. Pada masa 4 Sultanah inilah al-Singkili sebagai seorang alim dan mufti dari sebuah kesultanan yang besar seperti Aceh, yang pernah belajar di Mekkah dan Madinah, mempunyai hubungan dengan beberapa ulama dari berbagai negara, menjadi kahlifah tarekat Syattariyah , telah membuatnya bukan hanya mempunyai bukan hanya mempunyai legitimasi keagamaan yang otoritatif, tetapi juga politik yang kuat.[7]

d.      Masa Kemunduran Aceh Darussalam
Aceh mulai mengalami kemunduran setelah Sultan Iskandar Tsani berpulang ke rahmatullah. Sebagai penggantinya, beberapa orang Sultanah (pemimpin wanita) menduduki singgasana pada tahun 1641-1699. Mereka adalah Sultanah Safiat al-Din, Sultanah Nakiyat al-Din, Sultanah Kamala al-Din. Kepemimpinan para sultanah ini mendapat perlawanan dari kaum ulama Wujudiyah yang berujung dengan datangnya fatwa dari Mutfi Besar Mekah yang mengatakan keberatannya akan kepemimpinan wanita. Padahal menurut satu sumber Sultanah  Safiat al-Din  adalah seorang wanita yang cakap.
Pada masa pemerintahan sultanah ini, beberapa wilayah taklukkan lepas dan kesultanan menjadi terpecah-pecah. Meski upaya pemulihan dilakukan, namun tidak membawa banyak kemajuan. Menjelang abad ke-18 kesultanan Aceh merupakan bayangan belaka dari masa silam, Aceh tidak lagi memiliki kepemimpinan yang tangguh. Aceh mengalami kemerosotan politik dan ekonomi, selain itu wacana pemikiran Islam yang sempat berkembang pesatpun mengalami kemunduran. Kemunduran kesultanan Aceh selain disebabkan oleh faktor internal juga sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal.[8]

2.2    Tumbuh dan Berkembangnya Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa

            Kapan tepatnya Islam datang ke Jawa, masih menjadi perdebatan di kalangan peneliti. De Graaf dan Pigeau meyakini bahwa besar sekali kemungkinan pada abad ke-13 di Jawa sudah ada orang Islam yang menetap.sebab menurutnya, jalan perdagangan di laut yang menyusuri pantai timur Sumatera melalui laut Jawa ke Inonesia bagian timur, sudah ditempuh sejak zaman dahulu. Para pelaut itu, baik yang sudah beragama Islam maupun yang tidak, dalam perjalanan singgah di banyak tempat. Pusat-pusat pemukiman di pantai utara Jawa menurutnya ternyata sangat cocok untuk itu. Pendapat ini masih meragukan karena hipotesisi tersebut terlalu umum dan masih dapat diperdebatkan.
            Pendapat lain mengatakan bahwa Islam datang ke Jawa pada abad ke-15 M. Hal ini diindikasikan oleh adanya pemukiman Islam di daerah ini. Ma Huan, misalnya melaporkan bahwa antara tahun 1415-1432 M terdapat komunitas Muslim di Jawa bagian Timur. Selain itu di Jawa juga ditemukan sejumlah batu nisan pada abad yang sama seperti pada makam Malik Ibrahim yang berangka tahun 1419, dan Putri Campa berangka tahun 1370 Caka. Menurut badad Jawa, Malik Ibrahim adalah ulama dari tanah Arab, keturunan Zainal Abidin, cicit Nabi Muhammad. Pendapat senada dikemukakan oleh Hamka, bahwa Maulana Malik Ibrahim adalah seorang bangsa Arab yang datang ke Kasyan, Persia, yang datang ke Jawa sebagai penyebar agama Islam.
            Islam berkembang di Jawa bersamaan dengan melemahnya kekuasaan Raja Majapahit. Pada saat kerajaan Majapahit mengalami masa surut, secara praktis wilayah-wilayah kekuasaanya mulai memisahkan diri. Hal ini member peluang kepada penguasa-penguasa Islam di pesisir untuk membangun pusat-pusat kekuasaan yang independen. Salah satu sistem pemerintahan yang kemudian berkembang menjadi kerajaan tersendiri adalah Demak,Berikutnya Pahang,Mataram,Cirebon,Banten,dsb.[9]
1.        Demak
Di bawah pimpinan Sunan Ampel Denta, Wali Songo bersepakat mengangkat Raden Patah menjadi raja pertama kerajaan Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa, dengan gelar Senopati Jimbun Ngabdurahman Panemahan Palembang Sayidin Panatagama. Raden Patah dalam menjalankan pemerintahannya, terutama dalam persoalan-persoalan agama,dibantu oleh para ulama, Wali Songo. Sebelumnya, Demak yang masih bernama Bintoro merupakan daerah vassal Majapahit yang diberikan Raja Majapahit kepada Raden Patah. Daerah ini lambat laun menjadi pusat perkembangan agama Islam yang diselenggarakan oleh para wali.
Pemerintahan Raden Patah berlangsung kira-kira di akhir abad ke-16. Dikatakan, ia adalah seorang anak Raja Majapahit dari seorang ibu Muslim keturunan Campa. Ia digantiakn oleh anaknya, Sambrang Lor, dikenal juga dengan nama Pati Unus. Menurut Tome Pires, Pati Unus baru berumur 17 tahun ketika menggantikan ayahga sekitar tahun 1507. Menurutnya, tidak lama setelah naik tahta, ia merencanakan suatu serangan terhadap Malaka. Semangat perangnya semakin memuncak ketika Malaka ditaklukkan oleh Portugis pada tahun 1511. Akan tetapi, sekitar pergantian tahun 1512-1213, ternyata mengalami kekalhan besar.
Pati Unus digantikan oleh Trenggono yang dilantik sebagai sultan oleh Sunan Gunung Jati dengan gelar Sultan Ahmad Abdul Arifin. Ia memerintah pada tahun 1524-1546. Pada masa Sultan Demak yang ketiga inilah Islam dikembangkan ke seluruh tanah Jawa, bahkan sampai ke Kalimantan Selatan, penaklukkan Sunda Kelapa berakhir tahun 1527 yang dilakukan oleh pasukan gabungan Demak dan Cirebon di bawah pimpinan Fadhila Khan. Majapahit dan Tuban jatuh ke bawah kekuasaan kerajaan Demak diperkirakan pada tahun 1527 itu juga. Selanjutnya, pada tahun 1529, Demak berhasil menundukkan Madiun, Blora (1530), Surabaya (1531), Pasuran (1535), dan antara tahun 1541-1542 Lamongan, Blitar, Wirasaba dan Kediri (1544). Palembang dan Banjarmasin mengakui kekuasaan Demak. Sementara daerah Jawa Tengan bagian Selatan seitar Gunung Merapi, Pengging, dan Pajang berhasil dikuasai berkat pemuka Islam, Syaikh Siti Jenar dan Sunan Tembayat. Pada tahun 1546, dalam penyerbuan ke Blambangan, Sultan Trenggono terbunuh. Ia digantikan adiknya, Prawoto. Masa pemerintahanya tidak berlangsung lama karena, terjad pembrontakan oleh adipati-adipati sekitar kerajaan Demak. Sunan Prawoto  sendiri kemudian dibunuh oleh Aria Penangsang dari Jipang pada tahun 1549. Dengan demikian, kerajaan Demak berakhir dan dilanjutkan oleh kerajaan Pajang di bawah Jaka Tingkir yang berhasil membunuh Aria Penangsang.[10]
Salah satu peninggalan bersejarah Kesultanan Pajang adalah pelanjut Kesultanan Demak adalah Mesjid Agung Demak, yang diduga didirikan oleh para Walisongo. Lokasi ibukota Kesultanan Demak, yang pada masa itu dapat dilayari dari laut dan dinamakan Bintara,saat ini telah menjadi kota DEmak di Jawa Tengah.[11]

2.        Pajang
Kesultanan Pajng adalah pelanjut dan dipandang sebagai pewaris kerajaan Islam Demak. Kesultanan yang terletak di daerah Kartasura sekarang merupakan kerajaan Islam pertama yang terletak di daerah pedalaman pulau Jawa. Usia kesultanan ini tidak panjang. Kekuasaan dan kebesarannya kemudian diambil alih oleh kerajaan Matram.
Sultan atau raja pertama kesultanan ini adalah Jaka Tingkir yang berasal dari Pengging, di Lereng Gunung Merapi. Oleh Raja Demak ketiga, Sultan Trenggono, Jaka Tingkir diangkat menjadi penguasa di Pajang, setelah sebelumnya dikawinkan dengan anak perempuannya. Kediaman penguasa Pajang itu, menurut Babad, dibangun dengan mencontoh kraton Demak.
Pada tahun 1546, Sultan Demak meninggal dunia. Setelah itu, muncul kekacauan di ibu kota. Konon, Jaka Tingkir yang telah menjadi penguasa Pajang itu dengan segera mengambil alih kekuasaannya, karena anak Sulung Sultan Trenggono yang menjadi pewaris tahta kesultanan, susuhan Prawoto, dibunuh oleh kemenakannya, Aria Penangsang yang waktu itu menjadi penguasa di Jipang.
Setelah itu, ia memerintahkan agar semua benda pusaka Demak dipindahkan ke Pajang. Setelah menjadi Raja yang paling berpengaruh di pulau Jawa, ia bergelar Sultan Adiwijaya. Pada masanya sejarah Islam di Jawa mulai dalam bentuk baru, titik politik itu membawa akibat yang sangat besar dalam perkembangan peradaban Islam di Jawa.
Sultan Adiwijaya memperluas kekuasaannya di tanah pedalaman ke arah Timur sampai sampai daerah Madiun, dialiran anak sungai Bengawan Solo yang terbesar. Setelah itu, secara berturut-turut ia dapat menundukkan Blora (1554) dan Kediri (1577). Pada tahun 1581, ia berhasil mendapatkan pengakuan sebagai Sultan Islam dari raja-raja terpenting di Jawa Timur. Pada umumnya hubungan antara keraton Pajang dan raja-raja Jawa Timur memang bersahabat.
Selama pemerintahan Sultan Adiwijaya, kesustraan dan kesenian keraton yang sudah maju di Demak dan Jepara lambat laun dikenal dipedalaman Jawa. Pengaruh agama Islam yang kuat di pesisir menjalar dan tersebar ke daerah pedalaman.
Sultan Pajang meninggal dunia tahun 1587 dan dimakamkan di Butuh, suatu daerah di sebelah barat taman kerajaan Pajang. Dia digantikan oleh menantunya, Aria Pangiri, anak susuhan Prawoto tersebut di atas. Waktu itu, Aria Pangiri menjadi penguasa di Demak. Setelah menetap di karaton Pajang, Aria Pangiri dikelilingi oleh pejabat-pejabat yang dibawanya dari Demak. Sementara itu, anak Sultan Adiwijaya, Pangeran Benawa, dijadikan penguasa di Jipang.
Pengeran muda ini, kerena tidak puas dengan nasibnya di tengah-tengah lingkungan yang masih asing baginya, meminta bantuan kepada Senopati, penguasa Mataram, untuk mengusir Raja Pajang yang baru itu. Pada tahun 1588, usahanya itu berhasil. Sebagai rasa terima kasih, Pangeran Benawa menyerahkan hak atas warisan Ayahnya kepada Senopati. Akan tetai, Senopati menyatakan keinginannya untuk tetap tinggal di Matram ia hanya minta “pusaka kerajaan” Pajang.
Riwayat kerajaan Pajang berakhir pada tahun 1618. Kerajaan Pajang waktu itu membrontak terhadap Mataram yang ketika itu di bawah Sultan Agung. Pajang dihancurkan, rajanya melahirkan diri ke Giri dan Surabaya.

3.        Mataram
Awal dari kerajaan Mataram adalah ketika Sultan Adiwijaya dari Pajang meminta bantuan kepada Ki Pamahaman yang berasal dari Pajang dari daerah pedalaman untuk menghadapi dan menumpas pembrontakan Aria Penangsang tersebut. Sebagai hadiah atasnya, sultan kemudian menghadiahkan daerah Mataram kepada Ki Pamahaman yang menurunkan raja-raja Mataram Islam.
Pada tahun 1577 M, Ki Gede Pamahaman menempati isatana barunya di Mataram. Dia digantikan oleh putranya, Senopati tahun 1584 dan dikukuhkan oleh Sultan Pajang. Senopatilah yang dipandang sebagai Sultan Mataram pertama, setelah Pangeran Benawa, anak Sultan Adiwijaya, menawarkan kekuasaan atas pajang kepada Senopati. Meskipun Senopati menolak dan hanya meminta pusaka kerajaan, di antaranya Gong Kiai Skar Dlima,Kendali Kiai Macan Guguh, dan Pelana Kiai Jatayu, namun dalam  tradisi Jawa, penyerahan benda-benda pusaka itu sama artinya dengan penyerahan kekuasaan.
Senopati kemudian berkeinginan menguasai juga semua raja bawahan Pajang, tetapi ia tidak mendapat pengakuan dari para penguasa Jawa Timur sebagai pengganti raja Demak dan kemudian Pajang. Melalui perjuangan berat, peperangan demi peperangan, barulah ia berhasil menguasai sebagian.
Senopati meninggal dunia tahun 1601 M, dan digantikan oleh putranya Seda Ing Krapyak yang memerintah sampai tahun 1613 M. Seda Ing Krapyak digantikan oleh putranya, Sultan Agung, yang melanjutkan usaha ayahnya. Pada tahun 11619, seluruh Jawa Timur praktis sudah berada di bawah kekuasaanya. Di masa pemerintahannya Sultan Agung inilah kontak-kontak bersenjata antara kerajaan Mataram dengan VOC mulai terjadi. Pada tahun 1630 M, Sultan Agung wafat tahun 1646 M dan dimakamkan di Imogiri. Ia digantikan oleh putra mahkota. Masa pemerintahan Amangkarut I hampir tidak pernah reda dari konflik. Dalam setiap konflik, yang tampil sebagai lawan adalah mereka yang didukung oleh para ulama yang bertolak dari keprihatinan agama. Tindakan pertama pemerintahannya adalah menumpas pendukung Pangeran Alit dengan membunuh banyak ulama yang dicurigai. Ia yakin ulama dan santri adalah bahaya bagi tahtanya. Sekitar 5000-6000 ulama merasa tidak memerlukan titel “sultan”. Pada tahun 1677 M dan 1678 M, pembrontakan para ulama muncul kembali dengan tokoh spiritual Raden Kajoran. Pembrontakan-pembrontakan seperti itulah yang mengakibatkan runtuhnya Kraton Mataram.

4.        Cirebon
Kesultanan Cirebon adalah kerajaan Islam pertama di Jawa Barat. Kerajaan ini didirikan oleh Sunan Gunung Jati. Di awal abad ke-16, Cirebon masih merupakan sebuah daerah kecil di bawah kekuasaan Pakuan Pajajaran. Araja Pajajaran hanya menempatkan seorang juru labuhan di sana, bernama Pangeran Walangsungsang, seorang tokoh yang mempunyai hubungan darah dengan raja Pajajaran. Ketika berhasil memajukan Cirebon, ia sudah menganut agama Islam. Disebutkan oleh Tome Pires, Islam sudah ada di Cirebon sekitar 1470-1475 M. Akan tetapi, orang yang berhasil meningkatkan status Cirebon menjadi sebuah kerajaan adalah Syarif Hidayat yang terkenal dengan gelar Sunan Gunung Jati, pengganti dan keponakan dari Pangeran Walangsungsang. Dialah pendiri dinasti raja-raja Cirebon dan kemudian juga Banten.
Sebagai keponakan dari Pangeran Walangsungsang, Sunan Gunung Jati juga mempunyai hubungan darah dengan raja Pajajaran. Raja dimaksud adalah Prabu Siliwangi, raja Sunda yang berkedudukan di Pakuan Pajajaran, yang nikah dengan Nyai Subang Larang tahun 1422. Dari perkawinannya itu lahirlah tiga orang putra, masing-masing Raden Walangsungsang, Nyai Lara Santang dari perkawinannya dengan Maulana Sultan Mahmaud alias Syarif Andullah dari Bani Hasyim, ketika Nyai itu naik haji.
Disebutkan, Sunan Gunung Jati lahir tahun 1448 M dan wafat pada 1568 M dalam usia 120 tahun. Karena kedudukan sebagai salah seorang Wali Songo, ia mendapat penghormatan dari raja-raja lain di Jawa, seperti Demak dan  Pajang. Setelah Cirebon resmi berdiri sebagai sebuah Kerajaan Islam yang bebas dari kekuasaan Pajajaran, Sunan Gunung Jati berusaha meruntuhkan kerajaan Pajajaran yang masih belum menganut Islam.
Dari Cirebon, Sunan Gunung Jati mengembangkan Islam ke daerah-daerah laindi Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten. Dasar bagi pengembangan Islam dan perdagangan kaum Muslimin di Banten diletakkan oleh Sunan Gunung Jati tahun 1524 atau 1525 M. Ketika ia kembali ke Cirebon, Banten diserahkan kepada anaknya, Sultan Hasanuddin. Sultan inilah yang menurunkan raja-raja Banten. Ditangan raja-raja Banten tersebut, akhirnya kerajaan Pajajran dikalahkan. Atas prakarsa Sunan Gunung Jati juga penyerangan ke Sunda Kelapa dilakukan (1527 M). Penyerangan ini dipimpin oleh Falatehan dengan bantuan tentara Demak.
Setelah Sunan Gunung Jati wafat, ia digantikan oleh cicitnya yang terkenal dengan gelar Pangeran Ratu atau Panembahan Ratu. Panembahan Ratu wafat tahun 1650 dan digantikan oleh putranya yang bergelar Panembahan Girilaya.[12]

5.        Banten
Sunan Gunung Jati disebut-sebut sebagai orang yang telah menyebarkan Islam ke Banten. Menurut sumber tradisional, penguasa Pajajaran di Banten menerima Sunan Gunung Jati dengan ramah tamah dan tertarik untuk masuk Islam. Dengan segera ia menjadi orang yang berkuasa atas kota itu dengan bantuan tentara Jawa yang memang dimintanya. Namun menurut Barros, penyebaran Islam di Jawa Barat tidak mealui jalan damai, sebagaimana disebutkan oleh sumber tradisonal. Beberapa proses konversi ke Islam mungkin terjadi secara sukarela, tetapi kekuasaan tidak diperoleh kecuali dengan menggunakan kekerasan.
Setelah kembali ke Cirebon, kekuasaannya atas Banten diserahkan kepada anknya, Sultan Hasanuddin. Hsanuddin menikah dengan putri Demak dan diresmikan menjadi Panembahan Bnaten pada tahun 1552. Ia meneruskan usaha-usaha ayahnya dalam meluaskan daerah Islam, yaitu ke Lampung dan sekitarnya di Sumatera Selatan. Pada tahun 1658, di saat kekuasaan Demak beralih ke Pajang, Hasanuddin memerdekakan Banten. Itulah sebabnya oleh tradisi ia dianggap sebagai raja Islam yang pertama di Banten, yang semula memang menjadi daerah vasal dari Demak. Ia digantikan oleh anknya Yusuf. Seperti ayahnya, Yusuf melanjutkan penyebaran agama Islam dan berhasil menhIslamkan sejumlah besar golongan bangsawan Sunda Pakuwan, setelah ia berhasil menaklukkan daerah itu.
A.C Milner mengatakan bahwa pada abad 17, Banten dan Aceh adalah kerajaan Islam di nusantara yang paling ketat melaksanakan hukum Islam sebagai hukum Negara. Sementara kerajaan Mataram tidak ketat melaksanakannya karena masih dipengaruhi oleh adat, Budha atau Hindu. Demikian pula di Banten, hukuman terhadap pencuri dengan memotong tangan  kanan,kaki kiri,tangan kiri, dan seterusnya berturut-turut bagi pencurian senilai 1 gram emas, pada tahun 1651-1680 M di bawah sultan Ageng Tirtayasa. Sejarah Banten menyebutkan Syaikh tertinggi dengan sebutan kyai Ali atau Ki Ali ya. Gelar ng kemudian disebut dengan kali (Qadhi yang dijawakan). Orang yang memegang jabatan ini sekitar tahun 1650 diberi gelar Fakih Najmuddin. Gelar inilah yang dikenal selama dua abad selanjutnya. Qadhipada permulaan dijabat oleh seoarng ulama  dari Mekah, tetapi belakangan setelah tahun 1651qadhi yang diangkat berasal dari keturunan bangsawan Banten. Qadhi di Banten mempunyai peranan yang besar dalam bidang politik misalnya penentuan pengganti maulana Yusuf.[13]

2.3    Tumbuh dan Berkembangnya Kerajaan-Kerajaan Islam di Kalimantan,Maluku dan Sulawesi

1.       Kalimantan
Kalimantan terlalu luas untuk berada dibawah suatu kekuasaan pada waktu datangnya Islam. Daerah barat laut menerima Islam dari Malaya, daerah timur dari Makassar dan wilayah selatan dari Jawa.
a.       Berdirinya Kerajaan Banjar di Kalimantan Selatan
Tulisan-tulisan yang membicarakan tentang masuknya Islam di Kalimantan Selatan selalu mengidentikkan dengan berdirinya kerajaan Banjarmasin. Kerajaan Banjar merupakan kelanjutan dari kerajaan Daha yang beragama Hindu. Peristiwanya dimulai ketika terjadi pertentangan dalam keluarga istana, antara pangeran Samudera sebagai pewaris sah kerajaan Daha, dengan pamannya Pangeran Tumenggung. Seperti dikisahkan dalam hikayat Banjar, ketika Raja Sukarama merasa sudah hampir tiba ajalnya, ia berwasiat, agar yang menggantikannya nanti adalah cucunya Raden Samudera. Tentu saja keempat orang putranya tidak menerima sikap ayahnya itu, lebih-lebih Pangeran Tumenggung yang sangat berambisi. Setelah Sukarama wafat, jabatan raja dipegang oleh anak tertua, Pangeran Mangkubumi. Waktu itu, Pangeran Samudera baru berumur 7 tahun. Pangeran Mangkubumi tidak terlalu lama berkuasa. Ia terbunuh oleh seorang pegawai istana yang berhasil dihasut Pangeran Tumanggung. Dengan meninggalnya Pangeran Mangkubumi, maka Pangeran Tumanggng yang tampil menjadi raja Daha. 
Dalam pada itu, Pangeran Samudera berkelana ke wilayah muara. Ia kemudian diasuh oleh seorang patih, bernama Patih Masih. Atas bantuannya, Pangeran Samudera dapat menghimpun kekuatan perlawanan. Dalam serangan pertamanya, Pangeran Samudera berhasil menguasai Muara Bahan, sebuah pelabuhan strategis yang sering dikunjungi para pedagang luar, seperti dari pesisir utara Jawa, Gujarat, dan Malaka.
Peperangan terus berlangsung secara seimbang. Patih Masih mengusulkan kepada Pangeran Samudera untuk meminta bantuan kepada Raja Demak. Sultan Demak bersedia membantu asal Pangeran Samudera nanti masuk Islam. Sultan Demak kemudian mengirim bantuan seribu orang tentara beserta seorang penghlu bernama Khatib Dayan untuk mengislamkan orang Banjar.
Dalam peperangan itu, Pangeran Samudera memperoleh kemenangan dan sesuai dengan janjinya, ia beserta seluruh kerabat keratin dan penduduk Banjar menyatakan diri masuk Islam. Pangeran Samudera sendiri, setelah masuk Islam, diberi nama Sultan Suryanullah Suriansyah, yang dinobatkan sebagai raja pertama dalam kerajaan Islam Banjar.
Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1526 M dan yang menjadi Sultan Demak ketika itu Trenggono, sultan ketiga yang berkuasa pada tahun 1521-1546. Ketika Suryanullah naik tahta, beberapa daerah sekitarnya sudah mengakui kekuasaannya, yakni daerah Sambas, Batanglawai, Sukadana, Kotawaringin, Sampit, Medawi, dan Sambangan.
Sultan Suryanullah diganti oleh putra tertuanya yang bergelar Sultan Rahmatullah. Raja-raja Banjar berikutnya adalah Sultan Hidayatullah (putra Sultan Rahmatullah) dan Marhum Panambahan yang dikenal dengan Sultan Musta’inullah. Pada masa Marhum Panambahan, ibu kota kerajaan dipindahkan beberapa kali. Pertama ke Amuntai, kemudian ke Tambangan dan Batang Banju, dan akhirnya ke Amuntai kembali. Perpindahan ibu kota kerajaan itu terjadi akibat datangnya pihak Belanda ke Banjar dan menimbulkan hura-hura.
b.      Kutai di Kalimantan Timur
Menurut risalah Kutai, dua orang penyebar Islam tiba di Kutai pada masa pemerintahan Raja Mahkota. Salah seorang di antaranya adalah Tuan di Bandang, yang dikenal dengan Dato’Ri Bandang dari Makassar, yang lainnya adalah Tuan Tunggang Parangan. Setelah pengislaman itu, Dato’Ri Bandang kembali ke Makassar, sementara Tuan Tunggang Parangan tetap di Kutai. Melalui yang terakhir inilah Raja Mahkota tunduk kepada keimanan Islam. Setelah itu, segera dibangun sebuah Masjid dan pengajaran agama dapat dimulai. Yang pertama sekali mengikuti pengajaran itu adalah Raja Mahkota  sendiri, kemudian pangeran, para menteri, panglima dan hulubalang, dan akhirnya rakyat biasa.
Sejak itu, Raja Mahkota berusaha keras menyebarkan Islam dengan pedang. Proses Islamisasi di Kutai dan daerah sekitarnya diperkirakan terjadi pada tahun 1575. Penyebaran lebih jauh ke daerah-daerah pedalaman dilakukan terutama pada waktu puteranya, Aji di Langgar dan pengganti-penggantinya meneruskan perang ke daerah Muara Kaman.

2.      Maluku
Islam mencapai kepulauan rempah-rempah yang sekarang dikenal dengan Maluku ini pada pertengahan terakhir abad ke-15. Sekitar tahun 1460, raja Ternate memeluk agama Islam. Nama raja itu adalaah Vongi Tidore. Ia mengambil seorang istri keturunan ningrat dari Jawa. Namun, H.J. de Graaf berpendapat, raja pertama yang benar-benar Muslim addalah Zayn Al-‘Abidin (1486-1500 M). Di masa itu, gelombang perdagangan Muslim terus meningkat, sehingga raja menyerah kepada tekanan para pedagang Muslim itu dan memutuskan belajar tentang Islam pada Madrasah Giri. Di Giri, ia dikenal dengan nama Raja Bulawa atau raja Cengkeh, mungkin karena ia membawa cengkeh ke sana sebagai hadiah. Ketika kembali dari Jawa, ia mengajak Tuhubahahul ke daerahnya. Yang terakhir ini kemudian dikenal sebagai penyebar utama Islam di Kepulauan Maluku.
Karena usia Islam masih muda di Ternate, Portogis yang tiba di sana tahun 1522 M, berharap dapat menggantikannya dengan agama Kristen. Harapan itu tidak terwujud. Usaha mereka hanya mendatangkan hasil yang sedikit.
Berkenaan dengan ambon, sejarawan Ambon satu-satunya, Rijali, menceritakan, Perdana Jamilu dari Hitu (salah satu semenanjung ambon) menemani penguasa Ternate, Zayn Al’Abidin, dalam perjalanannya ke Giri. Menurut de Graaf, pernyataan ini hanya menunjukkan bahwa hubungan antara Hitu dengan Ternate memang sangat dekat. Menurutnya, tersebarnya Islam di Hitu lebih dikarenakan datangnya seorang qadi, Ibrahim yang menjadi qadi di Ambon, dan memberikan pengajaran kepada seluruh guru agama Islam di Pulau ini. Ambon bahkan mendirikan sebuah Masjid bergonjong tujuh yang mengingatkan orang kepada Giri, bangunan yang didirikan dalam bentuk yang sama. Riwayat setempat menguatkan pendapat ini, yang menyebutkan bahwa sumber Islam di Ambon adalah Jawa, meskipun Pasai dan Mekah yang disebut-sebut. Dalam riwayat itu disebutkan, pendiri sebuah kampong di Kailolo adalah Usman yang memperoleh Islam dari seorang guru agama dari Jawa, yang mengadakan perjalanan dari Mekah ke Gresik. Komunikasi antara Maluku dan Giri memang masih bertahan sampai abad ke-17. Bahkan, Demak dan Jepara merupakan sekutu-sekutu Hitu dalam peperangan melawan  Portugis yang menempatkan diri di Leitimor, semenanjung Ambon yang penduduknya masih menyembah berhala. Di daerah inilah Portugis berhasil memperkenalkan Kristen kepada penganut agama berhala itu.

3.      Sulawesi (Gowa-Tallo, Bone, Wajo, Soppeng dan Luwu)
Kerajaan Gowa-Tallo, kerajaan kembar yang saling berbatasan, biasanya disebut kerajaan Makassar. Kerajaan ini terletak di Semenanjung Barat Daya pulau Sulawesi, yang merupakan daerah transito sangat strategis.
Sejak Gowa-Tallo tampil sebagai pusat perdagangan laut, kerajaan ini menjalin hubungan baik dengan ternate yang telah menerima Islam dari Gresik/Giri. Di bawah pemerintahan Sultan Babullah, Ternate mengadakan perjanjian persahabatan dengan Gowa-Tallo. Ketika itulah, raja Ternate berusaha mengajak penguasa Gowa-Tallo untuk menganut agama Islam, tetapi gagal. Baru pada waktu Dato’Ri Bandang datang ke kerajaan Gowa-Tallo, agama Islam mulai masuk kerajaan ini.Alauddin (1591-1636) adalah Sultan pertama yang menganut Islam tahun 1605.
Penyebaran Islam setelah itu berlangsung sesuai dengan tradisi yang telah lama diterima oleh para raja, keturunan To Manurung. Tradisi itu mengharuskan seorang raja untuk memberitahukan “hal baik” kepada yang lain. Karena itu, kerajaan kembar Gowa-Tallo menyampaikan “pesan Islam” kepada kerajaan-kerajaan lain seperti Luwu, yang lebih tua, Wajo, Soppeng, dan Bone. Raja Luwu segera menerima “Pesan Islam itu”. Sementara itu, tiga kerajaan: Wajo, Soppeng, dan Bone yang terikat dalam aliansi Tallumpoece (tiga kerajaan) dalam perebutan hegemoni dengan Gowa-Tallo, Islam kemudian melalui peperangan. Wajo menerima Islam tanggal 10 Mei 1610 dan Bone, saingan politik Gowa sejak pertengahan abad ke-16, tanggal 23 November 1611. Raja Bone pertama yang masuk Islam dikenal dengan gelar Sultan Adam. Namun, meski sudah Islam, peperangan-peperangan antara sering terjadi dan bahkan, melibatkan Belanda untuk mengambil keuntungan politik daripadanya.[14]

2.4    Kesultanan Johor-Riau dan Riau Lingga

Kesultanan Riau Lingga merupakam Kerajaan Islam yang berdiri di Kepulauan Riau pada paruh pertama abad ke-19. Secara historis kemunculan kerajaan ini bisa dirunut dari  sejarah Kerajaan Malaka dan Johor. Ketika Kesultanan Malaka berdiri pada abad ke-15 M, Riau Lingga merupakakn daerah kekuasaan Malaka. Di saat Malaka runtuh karena serangan kolonial Portugis, muncul kerajaan Riau Johor yang menggantikan posisi Malaka sebagai representasi kekuatan politik puak Melayu di kawasan tersebut. Ketika itu Riau Lingga termasuk wilayah yang berada di kekuasaan Riau Johor.

1.         Sejarah Kesultanan Johor Riau
Kesultanan Johor yang terkadang disebut juga sebagai Johor-Riau atau Johor-Riau-Lingga adalah kerajaan yang didirikan pad tahun 1528 oleh Sultan Alauddin Riayat Syah, putra sultan terakhir Malaka, Mahmud Syah. Sebelumnya daerah Johor-Riau merupakan bagian dari Kesultanan Malaka yang runtuh akibat serangan Portugis pada tahun 1511. Pada puncak kejayaanya Kesultanan Johor-Riau mencakup wilayah Johor sekarang, Singapura, Kepulauan Riau dan daerah-daerah di Sumatera seperti Riau Daratan dan Jambi. Berikut adalah nama-nama sultan yang memerintah Kesultanan Johor Riau sejak 1528-1824.
1.      1528-1564: Sultan Alauddin Riayat Syah II (Raja Ali/ Raja Alauddin)
2.      1564-1570: Sultan Muzaffar Syah II (Raja Muzafar / Radin Bahar)
3.      1570-1571: Sultan Abd. Jalil Syah 1 (Raja Abdul Jalil)
4.      1570/71-1597: Sultan Ali Jalla Abdul Jalil Syah II (Raja Umar)
5.      1597-1615: Sultan Alauddin Riayat Syah III (Raja Mansur)
6.      1615-1623: Sultan Abdullah Ma’ayat Syah (Raja Mansur)
7.      1623-1677: Sultan Abdul Jalil Syah II (Raja Bujang)
8.      1677-1685: Sultan Ibrahim Syah  (Raja Ibrahim/Putera Raja Bajau)
9.      1685-1699: Sultan Mahmud Syah II (Raja Mahmud)
10.  1699-1720: Sultan Abdul Jalil IV (Bendahara Paduka Raja Tun Abdul Jalil)
11.  1718-1722: Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (Raja Kecil/Yang DiPertuan Johor)
12.  1722-1760: Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah  (Raja Sulaiman/Yang DiPertuan Besar Johor-Riau)
13.  1760-1761: Sultan Abdul Jalil Muazzam Syah
14.  1761: Sultan Ahmad Riayat Syah
15.  1761-1812: Sultan Mahmud Syah III (Raja Mahmud)
16.  1812-1819: Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah (Tengku Abdul Rahman).
Sejak masa kesultanan Johor Riau, terutama sejak tahun 1722 kemudian diteruskan oleh Kesultanan Riau Lingga, diterapkan apa  yang oleh Andaya diistilahkan dengan “tradisi dua nahkoda untuk satu perahu kerajaan”, yaitu Sultan dan Yang Dipertuan Muda (YDM). Hal ini berawal sejak Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah  menyerahkan roda pelaksanaan pemerintahan kepada bangsawan Bugis dan keturunannya, sebagai imbalan atas bantuan mereka mengusir Raja Kecik dari Johor. Penguasa Melayu dan keturunan bangsawan Bugis terikat janji setia di bawah persaksian kitab suci  Alqran bahwa “apabila bangsawan Bugis berhasil memulihkan kehormatan Raja Sulaiman maka bangsawan Bugis secara turun-temurun akan diangkat menjadi Yang Dipertuan Muda Kerajaan Melayu Riau”. Selain itu, mereka juga berjanji untuk saling mengakui persaudaraan di kalangan mereka dan saling tolong-menolong.
Peristiwa ini tergambar dalam Syair Upu-Upu Limaa yang digubah oleh Raja Ali Haji dalam karyanya, Silsilah Melayu Bugis. Karena itu, setelah lima bersaudara keturunan bangsawan Bugis berhasil mengusir Raja Kecil dari kerajaan Johor Riau dan Raja Sulaiman berhasil kembali mendduki singagasana kerajaan, maka salah seorang dari lima bersaudara, yaitu Daeng Marewa dikukuhkan sebagai Yang Dipertuan Muda pertama Kerajaan Johor Riau. Jabatan ini setara atau sama dengan kedudukan Perdana Menteri. Sementara bangsawan Melayu tetap memegang jabatan yang tertinggi sebagai symbol kerajaan dengan kedudukan Yang Dipertuan  Besar Riau atau “sultan” secara turun temurun.
Pemerintahan gabungan ini dalam kenyataannya mampu membawa kerajaan Johor Riau kepada kejayaan dan dominasi politik di perairan Selat Malaka dan sekitarnya lebih dari setengah abad. Suku Bugis yang datang ke Riau di bawah pimpinan Daeng Calek itu kemudian hari melepaskan bahasa sukunya, dan hampir meninggalkan sejumlah tradisinya, dan hidup dalam masyarakat Melayu dengan kehidupan tradisi dan budaya Melayu. Konsekuensinya, suku Bugis dalam generasi berikutnya tidak lagi tampak dalam penampilan yang bergaya Bugis, tetapi lebih merupakan suatu generasi Melayu yang baru.
Hal utama yang dilakukan oleh Sultan Sulaiman dan YDM pertama, Daeng Marewa adalah memperkokoh dasar-dasar pemerintahannya. Cara pemerintahan kesultanan Melayu ini agak sedikit unik. Ia tidak bersifat sentralistik. Tiap-tiap pembesar mempunyai daerah pemerintahan sendiri dan tinggal di daerah kekuasaannya itu. Secara nominal kesultanan Johor Riau masih mewarisi hirarki kerajaan Melayu Malaka seperti pegawai pemerintahan yang terdiri dari Raja Muda, Bendahara, Tumenggung, Penghulu, Bendahari dan Syahbandar. Hanya saja istilah dan fungsi Raja Muda sekarang berubah setelah bangsawan Bugis ikut terlibat dalam pemerintahan kerajaan Johor Riau. Jabatan itu kini berubah istilah menjadi Yang Dipertuan Muda dan didominasi oleh keturunan Bugis, dimana Daeng Marewa menjadi orang pertama yang menduduki posisi itu. Selain itu, dari segi fungsi, bila dulu Raja Muda merupakan jabatan calon pengganti Raja dan Sultan, kini hal itu tidak berlaku lagi. Diantara sebab-sebab perubahan itu, perrtama karena sekarang pemegang jabatan itu adalah dari kalangan pendatang yaitu suku bugis. Kedua, sudah menjadi kesepakatan bahwa jabatan sultan akan kekal di kalangan bangsa Melayu.
Meskipun secara teoritis, kekuasaan tertinggi berada di tangan sultan (Yang Dipertuan Besar), namun secara operasional kekuasaan pemerintahan berada di tangan Yang Dipertuan Muda. Yang terakhir inilah yang mengatur dan menjalankan roda pemerintahan kerajaan. Wilkinson memberikan satu ilustrasi tentang keduanya, seperti dikutip oleh Hamid Abdullah: “Yang Dipertuan Besar sepertinya menempati posisi “sebagai seorang istri” baru dapat makan kalau diberi. Sementara Yang Dipertuan Muda ibaratnya menempati posisi “sebagai seorang suami” dimana setiap keinginannya harus menjadi kenyataan.
Berikut adalah nama-nama Yang Dipertuan Muda di Kesultanan Johor Riau yang muncul sejak pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah:
No
Yang Dipertuan Muda Riau
Masa Jabatan
Pusat Pemerintahan
1
Daeng Marewa
1722-1728
Hulu Riau
2
Daeng Celak
1728-1745
Hulu Riau
3
Daeng Kamboja
1745-1777
Hulu Riau
4
Raja Haji bin Daeng Celak
1777-1784
Hulu Riau
5
Raja Ali
1784-1805
Pulau Bayan

Setelah berhasil meletakkan dasar pemerintahan politik dalam negeri, Sultan Sulaiman dan Yang Dipertuan Muda pertama, Daeng Marewa, melakukan hubungan politik dan perdagangan luar negeri. Secara berangsur-angsur kerajaan Johor Riau mulai ramai dikunjungi orang dari berbagai daerah dan bangsa, misalnya dari China, Siam, India dan Arab. Kemajuan terus meningkat ketika Daeng Celak menjabat sebagai YDM II kerajaan ini (1708-1745). Pada masa pemerintahannya, ia membangun perkebunan gambir yang menjadi salah satu komoditi perdagangan untuk pendapatan ekonomi kerajaan. Ia juga mengembangkan pertambangan timah di daerah Selangor. Belakangan, usaha itu dilanjutkan oleh Yang Dipertuan misalnya Selangor, Perak, Kedah Indragiri, Jambi dan Bangka (Palembang) Mempawah dan Pontianak. [15]



2.      Sejarah Kesultanan Riau Lingga
Kisah berdirinya kerajaan Riau Lingga tidak terlepas dari peranan Belanda dan Inggris yang ikut campur dalam konflik internal keluarha Kerajaan Riau Johor. Pada tahun 1811, Sultan Johor,Mahmud Syah III wafat, dan putranya Husin sedang tidak berada di Johor. Maka naiklah Abdul Rahman Muadzam Syah,adik tiri Husin sebagai sultan dengan dukungan Belanda, dan sempat berkuasa selama hampir tujuh tahun, yakni hingga 1819. Husin sangat kecewa dengan pelantikan itu. Potensi konflik ini kemudian diketahui oleh Inggris dan langsung memanfaatkan situasi dengan mendekati Husin. Atas dukungan Inggris, Husin akhirnya berhasil menjadi sultan dengan imbalan pemberian konsesi atas Singapura kepada Inggris, sedangkan Abdul Rahman menjadi raja di Riau Lingga atas “jasa baik Belanda”. [16]

2.5    Hubungan Politik dan Keagamaan antara Kerajaan-Kerajaan Islam

Hubungan antara satu kerajaan Islam  dengan kerajaan Islam lainnya pertama-tama memang terjalin karena persamaan agama. Hubungan itu pada mulanya, mengambil bentuk kegiatan dakwah, kemudian berlanjut setelah kerajaan-kerajaan Islam berdiri. Demikianlah misalnya antara Giri dengan daerah-daerah Islam di Indonesia bagian Timur, terutama Maluku. Adalah dalam rangka penyebaran Islam itu pula, Fadhilah Khan dari Pasai datang ke Demak, untuk memperluas wilayah kekuasaan ke Sunda Kelapa.
Dalam bidang politik, agama pada mulanya dipergunakan untuk memperkuat diri dalam menghadapi pihak-pihak atau kerajaan-kerajaan yang bukan Islam, terutama yang mengancam kehidupan politik maupun ekonomi. Persekutuan antara Demak dengan Cirebon dalam menaklukkan Banten dan Sunda Kelapa dapat diambil sebagai contoh. Contoh lainnya adalah persekutuan kerajaan-kerajaan Islam dalam menghadapi Portugis dan Kompeni Belanda yang berusaha memonopoli pelayaran dan perdagangan.
Hubungan antar kerajaan-kerajaan Islam lebih banyak terletak dalam bidang budaya dan keagamaan. Samudera pasai dan kemudian Aceh yang dikenal dengan Serambi Makkah menjadi pusat pendidikan dan pengajaran Islam. Dari sini ajaran-ajaran Islam tersebar ke seluruh pelosok Nusantara melalui karya-karya ulama dan murid-muridnya yang menuntut ilmu ke sana. Demikian pula halnya dengan Giri di Jawa Timur terhadap daerah-daerah di Indonesia bagian Timur. Karya-karya sastra dan keagamaan dengan segera berkembang di kerajaan-kerajaan Islam. Tema dan isi karya-karya itu seringkali mirip antara satu dengan yang lain. Kerajaan Islam itu telah merintis terwujudnya idiom cultural yang sama, yaitu Islam. Hal ini menjadi pendorong terjadinya interaksi budaya yang makin erat.

2.6    Tiga Pola “Pembentukan Budaya” Yang Terlihat Dalam Proses Pembentukan Negara:Aceh,Sulawesi Selatan dan Jawa

Dalam Rentang waktu sejak akhir abad ke-13, ketika Samudera Pasai berdiri, sampai abad ke-17, di saat istana Gowa-Tallo resmi menganut Islam, menurut Taufik Abdullah, setidaknya tiga pola “pembentukan budaya” yang memperlihatkan bentuknya dalam proses pembentukkan Negara telah terjadi. Ketiga pola itu adalah:
1.         Pola Samudera Pasai
Lahirnya kerajaan Samudera Pasai berlangsung melalui perubahan dari Negara yang segmenter ke Negara yang terpusat. Sejak awal perkembangannya, Samudera Pasai menunjukkan banyak pertanda dari pembentukan suatu Negara baru. Kerajaan ini tidak saja berhadapan dengan golongan-golongan yang belum ditundukkan dan diislamkan dari wilayah pedalaman, tetapi juga harus menyelesaikan pertentangan politik bserta pertentangan keluarga yang berkepanjangan.
Dengan pola tersebut, Samudera Pasai memiliki “kebebasan budaya” untuk memformulasikan struktur dan system kekuasaan, yang mencerminkan gambaran tentang dirinya.Pola yang sama dapat pula disaksikan pada proses terbentuknya kerajaan Aceh Darussalam.
2.         Pola Sulawesi Selatan
Pola ini adalah pola islamisasi melalui konversi keratin atau pusat kekuasaan. Dalam sejarah Islam di Asia Tenggara, pola ini didahului oleh berdirinya kerajaan Islam Malaka. Proses islamisasi berlangsung dalam suatu struktur Negara yang telah memiliki basis legitimasi geneologis. Konversi agama menunjukkan kemampuan raja. Penguasa terhindar dari penghinaan rakyatnya dalam masalah kenegaraan.
Pola Islamisasi melalui konversi keratin atau pusat kekuasaan seperti itu, di Indonesia terjadi juga di Sulawesi Selatan,Maluku dan Banjarmasin. Tidak seperti Samudera Pasai, Islamisasi di Gowa-Tallo,Ternate,Banjarmasin dan sebagainya yang mempunyai pola yang sama, tidak memberi landasan bagi pembentukan negara. Islam tidak mengubah desa menjadi suatu bentuk baru organisasi kekuasaan, seperti yang terjadi di Samudera Pasai. Konversi agama dijalankan, tetapi pusat kekuasaan telah ada lebih dahulu.
3.      Pola Jawa
Di Jawa, Islam mendapatkan suatu sistem politik dan struktur kekuasaan yang telah lama mapan, berpusat di keraton pusat Majapahit. Sebenarnya komunitas pedagang Muslim mendapatkan tempat dalam pusat-pusat politik pada abad ke-11. Komunitas itu makin membesar pada abad ke-14. Ketika posisi raja melemah,para saudagar kaya di berbagai kadipaten di wilayah pesisir mendapat peluang besar untuk menjauhkan diri dari kekuasaan raja. Mereka kemudian tidak hanya masuk Islam tetapi juga membangun pusat-pusat politik yang independen. Setelah kraton pusat menjadi goyah, kraton-kraton kecil mulai bersaing menggantikan Majapahit. Dengan posisi baru ini,Demak tidak saja menjadi pemegang hegemoni politik, tetapi juga menjadi “jembatan penyeberangan” Islam yang paling penting di Jawa.
Walaupun mencapai keberhasilan politik dengan cepat,Demak tidak saja harus menghadapi masalah legitimilasi politik, tetapi juga panggilan kultural untuk kontiunitas. Dilema kultural dari dominasi politik Islam di dalam suasana tradisi Siwa-Budhistik telah jauh menukik ke dalam kesadaran. Hal itu akan jelas ketika kraton dipindahkan oleh Jaka Tingkir ke Pajang di pedalaman dan semakin jelas ketika Mataram berhasil menggantikan kedudukan Pajang tahun 1588.
Tidak seperti pola Samudera Pasai,Islam mendorong pembentukan negara yang supra-desa,juga tidak seperti Gowa-Tallo,keraton yang diIslamkan. Di Jawa Islam tampil sebagai penantang,untuk kemudian mengambil alih kekuasaan yang ada. Jadi, yang tampil adalah suatu dilema kultural dari orang baru di dalam bangunan politik yang lama.[17]

2.7    Kondisi Politik Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia

Cikal bakal kekuasaan Islam telah dirintis pada periode abad 1-5 H/7-8 M, tetapi  semuanya tenggelam dalam hegemoni maritime Sriwijaya yang berpusat di Palembang dan kerajaan  Hindu-Jawa seperti Singasari dan Majapahit di Jawa Timur. Pada periode ini, para pedagang dan mubaligh muslim membentuk komunitas-komunitas Islam. Mereka memperkenalkan Islam yang mengajarkan toleransi dan persamaan derajat di antara sesama, sementara ajaran Hindu-Jawa menekankan perbedaan derajat manusia. Ajaran Islam ini sangat menarik perhatian penduduk setempat. Kerena itu, Islam tersebar di Kepulauan Indonesia terhitung cepat, meski dengan damai.
Masuknya Islam ke daerah-daerah di Indonesia tidak dalam waktu yang bersamaan. Di samping itu, keadaan politik dan sosial budaya daerah-daerah ketika didatangi Islam juga berlainan. Pada abad ke-7 sampai ke-10, kerajaan Sriwijaya meluaskan kekuasaannya ke daerah Semenanjung Malaka yang merupakan kunci bagi  pelayaran dan perdagangan internasional. Datangnya orang-orang muslim ke daerah itu sama sekali belum memperlihatkan dampak-dampak politik, karena mereka datang memang hanya untuk usaha pelayaran dan perdagangan. Keterlibatan orang-orang Islam dalam biang polotik baru terlihat pada abad ke-9 M, ketika mereka terlibat dalam pemberontakan petani-petani Cina terhadap kekuasaan Tang pada masa pemerintahan Kaisar Hi-Tsung (878-889 M ). Akibat pemberontakan itu, kaum muslimin banyak yang dibunuh. Sebagian lainnya lari ke Kedah, wilayah yang masuk kekuasaan Sriwijaya, bahkan ada yang ke Palembang dan membuat perkampungan muslim di sini. Kerajaan Sriwijaya pada waktu itu memang melindungi orang-orang muslim di wilayah kekuasaanya.
Kemudian politik dan ekonomi berlangsung sampai abad ke-12 M. Pada akhir abad ke-12 M, kerajaan ini mulai memasuki masa kemunduannya. Untuk memeprtahankan posisi ekonomi Kerajaan Sriwijaya membuat peraturan cukai yang lebih berat bagi kapal-kapal dagang asing yang singgah ke pelabuhan-pelabuhannya. Akan tetapi, kapal-kapal dagang asing seringkali menyingkir. Kemunduran ekonomi ini membawa dampak terhadap perkembangan polotik.
            Kemunduran politik dan ekonomi Sriwijaya dipercepat oleh usaha-usaha kerajaan Singasari yang sedang bangkit di Jawa. Kerajaan Jawa ini melakukan ekspedisi Pamalayu tahun 1275 M dan mendorong daerah-daerah di  Selat Malaka yang dikuasai kerajaan Sriwijaya untuk melepaskan diri dari kekuasaan kerajaan tersebut.
Kelemahan Sriwijaya dimanfaatkan pula oleh pedagang-pedagang muslim untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan politik da neprdagangan. Mereka mendukung daerah-daerah yang muncul dan daerah yang menyatakan diri sebagai kerajaan bercorak Islam, yaitu kerajaan Samudera Pasai di pesisir timur laut Aceh. Daerah ini sudah disinggahi pedagang-pedagang muslim sejak abad ke-7 dan ke-8 M. Proses ini tentu berjalan disana sejak abad tersebut. Kerajaaa Samudera Pasai dengan segera berkembang , baik dalam bidang politik maupun perdagangan.
Kareana kekacauan-kekacauan dalam negeri sendiri akibat perebutan kekuasaan di Istana, Kerajaan Singasari, juga pelanjutnya, Majapahit tidk mampu mengontrol daearah Melayu dn Selat Malaka dengan baik sehingga kerajaan Samudera Pasai dan Malaka dapat berkembang dan mencapai puncak kekuasaanya hingga abad ke-16 M.
Di Kerajaan Majapahit, ketika Hayam Wuruk dengan Patih Gajah Mada masih berkuasa, situasi politik pusat kerajaan memeng tenang, sahingga banyak daerah di Kepulauan Nusantara mengakui berada di bawah perlindungannya. Tetapi Sejak Gajah Mada meninggal dunia (1364 M) dan disusul Hayam Wuruk (1389 M), situasi Majapahit kembali mengalami kegoncangan. Perebutan kekuasan antara Wikramawhardana dan Bhre Wirabumi berlangsung lebih dar sepuluh tahun. Setelah Bhre Wirabumi meninggal, perebutan kekuasaan di kalangan Istana kembali muncul dan berlarut-lart. Pad tahun 1468 M,Majapahit diserang Giriindawardhana dari Kediri. Sejak itu, kebesaran Majapahit dapat dikatakan sudah habis. Tom Pires (1512 dalam-1515 M), dalam tulisannya Suma Oriental, tidak lagi menyebut-nyebut nama Mjapahit. Kelemahan-kelemahan yang semakin lama semakin memuncak akhirnya menyebabkan keruntuhannya.

2.8    Masuknya Pengaruh Islam ke Indonesia

Ada beberapa teori tentang masuknya agama Islam di Indonesia . pendapat tersebut dikemukakan oleh para ahli dari dalam negeri dn luar negeri. Pendapat tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Snouck Hurgronje, Kreamer,H.J. Vanden Berg dan Mugnette mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13 M melalui Gujarat,India. Tidak langsung dari tanah Arab dan bukan oleh orang-orang Arab. Teori itu didasarkan pada kenyataan bahwa batu nisan yang ditemukan diberbagai tempat di Nusantara, termasuk makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik, batu nisa Sultan al-Malik, al-Shaleh raja pertama kerajaan Samudera Pasai yang meninggal pada tahun 1297 M mempunyai bentuk yang sama dengan batu Wirjosoeparto yang juga alasannya berdasarkan data arkelogis, yaitu ditemukannya batu nisan raja Islam di Samudera Pasai.
2.      Husein Jayadiningrat mengatakan Islam masuk ke Indonesia melalui Iran (Persia). Hal itu dibuktikan dengan ejaan dalam tulisan Arab. Baris di atas, di bawah, dan baris di depan disebut jabar (zabar) dan pes (pjes). Istilah ini berasal dari bahasa Iran, sedangkan menurut bahasa Arab, ejaanya adalh fathah, kasroh dan domah. Begitu juga ,huruf sin tidak bergigi sedangkan huruf sin dari bahasa Arab bergigi. Selain itu, gelar syah yang biasa dipakai di Persia juga pernah dipergunakan oleh Raja Malaka dan Aceh.
3.      Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), D. Mansyur  dn beberapa ahli lainnya mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia adalah langsung dari Arab (Orang Muslim etnis Arab Mekkah). Dalam seminar “Sejak masuknya Islam ke Indonesia” di Medan tahun 1963 di simpulkan bahwa Islam sudah dimulai jauh sebelum abad ke-13 (yaitu sudh ada sejak abad ke-7 M) melalui Selat Malaka yang menghubungkan Dinasti Tang di Cina , Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani Umayyah di Asia Barat. Senda dengan itu, Alwi Sihab juga mengatakan Islam pertama kali maimur suknya ke Nusantara pada abad pertama Hijriyah langsung dari Arab, dasarnya adalah Cina pada masa Dinasti Tang yang menyatakan adanya perkampungan Arab di Cina. Cina yang dimaksudadalah gugusan pulau di Timur. Termasuk Kepulauan Indonesia.
4.      Sajana Muslim kontemporer seperti Taufik Abdullah mengkompromikan kedua pendapat tersebut. Menurut pendpatnya memang benar Islam sudah datang ke Indonesia sejak abad pertama Hijriyah atau abad ke-7 atau ke-8 M. Tetapi baru dianut oleh para pedagang Timur Tengah di pelabuhan-pelabuhan. Barulah Islam masuk secara besar-besaran dan mempunyai kekuatan politik pada abad ke-13 dengan berdirinya Kerajaan Samudera Pasai.

a.         Tempat-tempat yang mula didatangi dan pembawa Islam
            Sebagai pembenaran daripada kedatangan Islam di Indonesia sepanjang jalan perdagangan maritim, maka tentunya tempat-tempat yang berada atau dekat dengan jalur pelayaran itulah yang lebih mudah dan pertama didatangiagama Islam. Sarana komunikasi perdagangannya yang berkembang pada abad-abad kedatangan agama Islam itu adalah lautan atau smaudera yang pada akhirnya akan terkonsentrasi di pelabuhan-pelabuhan. Atas petunjuk itulah, maka dipastikan bahwa daerah atau tepat-tmpat yang mula-mula didatangi agama Islam di Indonesia ini adalah daerah-daerah pesisir atau daeah-daerah pelabuhan, dan seperti dinyatakan, dan menjadi keputusan seminar di Medan adalah pesisir Sumatera. Agussalim dan Kreamer mengatakan karena posisi Sumatera merypakan tempat terdekat dan paaling sering disinggahi oleh pedagang-pedagang muslim dalam pelayarannya.

b.        Cara Penyebaran Islam di Indonesia
Cara, saluran dan pola penyebaran islam di Indonesia adalah sebagai berikut:
1.      Melalui perdagangan. Perdagangan memegang peran utama karena islam mulai diperkenalkan melalui sejumlah Bandar penting. Perdagangan itu pula yang memungkinkan persebaran pengaruh islam yang luas di Indonesia. Jadi, persebaran itu berawal dari pesisir lalu pedalaman. Menurut Tome Pires, bahwa ketika pesisir utara Jawa belum Islam, disana telah terdapat pedagang-pedagang Arab, Gujarat dan lain-lain. Kebanyakan mereka beragama Islam, mereka kaya. Kemudian penguasa Jawa mulai menganut agama Islam.
2.      Melalui Dakwah. Dilakukan oleh para mubalig yang datang bersama pedagang yang memang bertugas khusus untuk menyebarkan Islam.
3.      Melalui perkawinan. Perkawinan antara pedagang muslim, mubalig dengan anak bangsawan Indonesia. Hal ini akan mempercepat terbentuknya inti sosial, yaitu keluarga muslim dan masyarakat muslim. Sebelum menikah sang gadis menjadi muslim terlebih dulu. Perkawinan secara muslim di kalangan terpandang memperlancar penyebaran pengaruh Islam.
4.      Melalui Pendidikan. Setelah kedudukan para pedagang mantap, mereka menguasai kekuatan ekonomi di Bandar-bandar seperti di Gresik. Pusat-pusat perekonomian itu berkembang menjadi pusat pendidikan dan penyebaran Islam. Karena terbuka bagi siapapun, banyak anak dan remaja dari berbagai kalangan tertarik untuk belajar, sehingga memperluas pengaruh Islam keberbagai penjuru Indonesia.
5.      Melalui kesenian. Pertunjukan wayang merupakan salah satu sarana kesenian yang digunakan untuk menyebarkan Islam. Tokoh termasyur yang mahir mementaskan wayang adalah Sunan Kalijaga. Kisah yang ditampilkan diambil dari mahabrata ataupun Ramayana. Selama pementasan disisipkan ajaran dan nilai-nilai Islam. Setelah selesai pertunjukan dalang tidak meminta upah, tetapi mengajak para penonton untuk mengikutinya mengucapkan dua kalimat syahadat.

c.         Pemegang Peran Penyebaran Agama Islam di Indonesia
Golongan yang berperan dalam proses penyebaran agama Islam di Indonesia adalah:
1.         Peran ulama.
Agama islam pada awalnya dibawa oleh para pedagang dari Arab, Persia dan India, kemudian disebarkan dan dikembangkan oleh para ulama dan mubaligh Indonesia seperti:
a.       Dato’ri Bnadang dan Dato’ Sulaiaman yang menyebarkan agama Islam di Gowa dan Tallo
b.      Dato’ri Bandang bersama Tuan Tunggang’ri Parangan yang melanjutkan penyebaran agama Isam samapi ke Kutai
c.       Para wali dengan sebutan wali Sanga yang menyebarkan agama Islam di pulau Jawa. Sebenarnya nama Wali Sanga adalah nama suatu dewan mubaligh di Jawa. Apabila salah satu anggota dewan wafat, ia digantikan oleh wali yang lain berdasarkan musyawarah. Setiap wali mempunyai tugas melanjutkan penyiaran Islam di Pulau Jawa. Berikut ini adalan nama-nama Wali Sanga:
1.      Maulana Malik Ibrahim, berasal dari Persia dan kemudian menetap di Gresik. Dikenal dengan nama Sunan Gresik.
2.      Sunan Ampel, semula bernama Raden Rahmat dan berkedudukan di Ampel, dekat Surabaya.
3.      Sunan Bonang, semula bernama Mahdun Ibrahim adalah putra Raden Rahmat yang berkedudukan di Bonang, dekat Tuban.
4.      Sunan Drajat, semula bernama Syarifudin adalah putra Raden Rahmat berkedudukan di Drajat, dekat Sedayu.
5.      Sunan Giri, semula bernama Raden Paku adalah murid Sunan Ampel yang berkedudukan di Giri, didekat Gresik.
6.      Sunan Muria, semula bernama Raden Umar Said dan berkedudukan di Gunung Muria di daerah Kudus.
7.      Sunan Kalijaga, semula bernama Joko Said dan berkedudukan di Kadilangu dekat Demak.
8.      Sunan Kudus, semula bernama Jafar Sidik berkedudukan di Kudus.
9.      Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah yang berkedudukan di Gunung Jati, Cirebon.
Dalam penyebaran Islam di Jawa, peran wali sangat besar. Dengan penuh kesadarn dan kearifan, agama Islam disampaikan kepada masyarakat. Dengan Islam cepat berkembang di pulau Jawa.
Selain wali Sanga, masih banyak wali lain yang memiliki andil besar dalam pengembangan ajaran Islam di Pulau Jawa. Beberapa wali yang dimaksud adalah Syekh Subakir, Sunan Geseng, Syekh Mojo Agung dan Syekh Siti Jenar. Pada mulanya Syekh Jenar termasuk anggota Wali Sanga, tetapi karena ajaran membahayakan maka Syekh Siti Jenar dicoret dari wali sanga digantikan Sunan Bayat.
Setelah memiliki pengaruh kuat di Jawa, agama Islam berkembang ke wilayah Nusantara yang lain, seperti Kalimantan, Sulawesi dan Maluku. Penyiaran agama Islam di Kalimantan dilakukan oleh Kerajaan Demak. Islam tersebut di Maluku, Ternate dan Tidore setelah Sultan Ternate Sultan Ternate Zainal Abidin belajar agama Islam ke Giri, Jawa Timur. Sepulangnya dari belajar agama, ia menyampaikan ajaran islam kepada rakyatnya.
2.      Peran Pedagang.
Sejak abad ke-7, pedagang muslim dari Arab, Persia, dan India telah ikut ambil bagian dalam kegiatan perdagangan di Indonesia. Di samping berdagang, para pedagang Islam dapat menyampaikan dan menyebarkan agama Islam. Saluran islamisasi melalui perdagangan terjadi sangat intensif dan dinamis. Alasannya sebagai berikut:
a.       Dalam agama Islam tidak ada pemisahan antara manusia sebagai pedagang dan kewajibannya sebagai muslim untuk menyampaikan ajaran kepercayaannya kepada pihak lain.
b.      Perdagangan pada masa Islam di Indonesia sangat menguntungkan karena banyak golongan bangsawan dan raja yang ikut dalam perdagangan, bahkan mereka menjadi pemilkik kapal dan saham.
Kehadiran para pedagang muslim itu diterima dengan sikap terbuka oleh penguasa setempat. Sikap bersahabat yang ditampilkan oleh para pedagang itu membuat mereka tidak mengalami kesulitan saat mengenalkan ajaran dan nilai-nilai Islam. Bahkan, penguasa setempat memperkenankan rakyatnya menjadi muslim. Misalnya, pada abad ke-14, penguasa Ternate yang bukan muslim, tidak keberatan ketika sejumlah rakyatnya masuk islam. Keterbukaan yang sama muncul juga di Kerajaan Majapahit yang beragama Hindu.
3.      Peran Muslim Cina.
Peran etnis Cina dalam percaturan sejarah nasional memiliki keunikan tersendiri ika dibandingkan dengan etnis minoritas yang lain, seperti Arab dan India. Etnis Cina banyak mewarnai kehidupan kehidupan sosial politk di masa lalu, termasuk sumbangsih mereka dalam upaya penyebaran agama Islam di Nusantara, khususnya di tanah Jawa.









BAB III
PENUTUP
3.1    Kesimpulan

Berbagai teori berkaitan dengan sejarah masuknya Islam ke Indonesia berfokus pada 3 hal, yaitu tempat asal kedatangannya, para pembawanya dan waktu datangnya.
 Penyebaran Islam di Nusantara membawa pengaruh dalam berbagai aspek kehidupan diantaranya dalam aspek: pola penyebaran penduduk (demografi), pola bangunan (arsitektur), pendidikan dan organisasi politik.

3.2    Saran
Kami menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis senantiasa dengan lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan.



















DAFTAR PUSATAKA

Helmiati. Sejarah Islam Asia Tenggara.2011.Pekanbaru: Zanafa.
Helmiati. Sejarah Isam Asia Tenggara.2011.Pekanbaru :Suska Press.
Yatim,Badri.Sejarah Peradaban Islam.2008.Jakarta:PT RajaGrfindo Persada.
Nutsusanto,Nugroho.2008.Sejarah Nasional III.Jakarta:Balai Pustaka.
Syam,Nur.2005.Islam Pesisir.Jakarta:LKis.




[1] Helmiati. Sejarah Islam Asia Tenggara. (Pekanbaru: Zanafa, 2011), 19-21.

[2] Helmiati. Sejarah Isam Asia Tenggara. (Pekanbaru: Suska Pres, 2011), 17-18.
[3] Yatim, Badri, Sejarah Peradadaban Islam, (Jakarta:  PT RajaGrafindo Persada, 2008), 205-208.
[4] Helmiati, Op.Cit., 24-27.
[5] Badri, Op.Cit., 208.
[6] Helmiati, Op.Cit., 35-47.
[7] Ibid. Hlm 49
[8] Ibid. Hlm 52-53.
[9] [9] Helmiati. Sejarah Isam Asia Tenggara. (Pekanbaru: Suska Pres, 2011), 17-18.
[10] Badri, Op.Cit., 210-212.
[11] Helmiati, Op.Cit, 52.
[12] Badri, Op.Cit., 212-216.
[13] Helmiati, Op.Cit, 58-60.
[14] Badri, Op.Cit., 219-224.
15  Helmiati, Op.Cit, 60-64.

[16] Ibid. Hlm 68.
[17] Badri, Op.Cit., 225-227.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Web Hosting Bluehost