Jumat, 10 Agustus 2012

Islam di Indonesia Fase Kemerdekaan

BAB II
PEMBAHASAN

1.     Fase Sebelum Kemerdekaan

1)      Birokrasi Keagamaan
Oleh karena penyebaran Islam di Indonesia pertama-tama dilakukan oleh para pedagang, pertumbuhan komunitas Islam bermula di berbagai pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatera, Jawa dan pulau lainnya. Keajaan-kerajaan Islam yang pertama berdiri   juga   di   daerah    pesisir.   Demikian juga   kerajaan   Samudera   Pasai, Aceh, Demak,Banten dan Cirebon, Ternate, dan Tidore. Dari sana kemudian, Islam menyebar ke daerah-daerah sekitar. Begitu pula yang terjadi di Sulawesi dan Kalimantan. Menjelang akhir abad ke-17, pengaruh Islam sudah hampir merata di berbagai wilayah penting di Nusantara.
Disamping merupakan pusat-pusat politik dan perdagangan, ibu kota kerajaan juga merupakan tempat berkumpul para ulama dan mubalig Islam. Ibn Batuthah menceritakan, sultan kerajaan Samudera Pasai, Sultan Al-Malik Al-Zahir, dikelilingi oleh ulama dan mubalig Islam, dan raja sendiri sangatt menggemari diskusi mengenai masalah-masalah keagamaan.[1]
Kedudukan ulama sebagai penasehat raja, terutama dalam keagamaan juga terdapat di kerajaan-kerajaan Islam lainnya.  Para ulama juga duduk dalam jabatan-jabatan keagamaan yang tingkat dan namanya berbeda-berbeda, antara satu daerah dengan daerah lainnya, pada umumnya disebut qadhli, meski dengan sialek yang berbeda. Tetapi, penerapan hokum Islam di satu kerajaan lebuh jelas dibandingkan dengan kerajaan lain. Yang terkuat di antaranya adalah Aceh dan Banten.[2]


2)      Ulama dan ilmu-ilmu keagamaan
Penyebarab dan pertumbuhan kebudayaan Islam di Indonesia terutama terletak dipundak para ulama. Paling tidak ada dua cara yang dilakukannya. Pertama, membentuk kader-kader ulama yang akan bertugas sebagai muballig ke daerah-daerah yang lebih luas. Kedua, melalui karya-karya yang tersebar diberbagai tempat yang jauh.[3] Karya-karya tersebut mencerminkan perkembangan pemikiran dan ilmu-ilmu keagamaan di Indonesia pada masa itu.
3)      Arsitek Bangunan
Oleh karena perbedaan latar belakang budaya, arsitektur bangunan islam di Indonesia berbeda dengan yang terdapat di dunia Islam lainnya. Hasil-hasil seni bangunan pada zaman pertumbuhan dan perkembangan Islam di Indonesia antara lain masjid-masjid kuno Demak, Sendang Duwur Agung Banten, Baiturrahman di Aceh, dan daerah-daerah lain.

2.     Fase Kemerdekaan
Terdapat asumsi yang senantiasa melekat dalam setiap penelitian sejarah bahwa masa kini sebagian dibentuk oleh masa lalu dan sebagian masa depan dibentuk hari ini. Demikian pula halnya dengan kenyataan umat islam Indonesia pada masa kini, tentu sangat dipengaruhi masa lalunya.
Bertolak dari asumsi itu, kita perlu memahami kehidupan umat Islam Indonesia pada pasca kemerdekaan yang akan menentukan sebagian wajah lehidupan umat Islam Indonesia pada masa-masa selanjutnya. Dalam hal ini tidak berlebihan jika Harry J. Benda menyatakan bahwa sejarah Islam Indonesia adalah sejarah perluasan peradaban santru dan pengaruhnya terhadap kehidupan agama, social dan politik di Indonesia.[4]


Islam di Indonesia telah diakui sebagai kekuatan cultural, tetapi islam dicegah untuk merumuskan bangsa Indonesia menurut versi islam. Sebagai kekuatan moral dan budaya, islam diakui keberadaannya, tetapi tidak pada kekuatan politik secara riil (nyata) di negeri ini.[5]
Seperti halnya pada masa penjajahan Belanda, sesuai dengan pendapat Snouck Hurgronye, islam sebagai kekuatan ibadah (sholat) atau soal haji perlu diberi kebebasan, namun sebagai kekuatan politik perlu dibatasi.[6] Perkembangan selanjutnya pada masa Orde Lama, islam telah diberi tempat tertentu dalam konfigurasi (bentuk/wujud) yang paradoks, terutama dalam dunia politik. Sedangkan pada masa Orde Baru, tampaknya islam diakui hanya sebatas sebagai landasan moral bagi pembangunan bangsa dan negara.
Perkembangan selanjutnya pada masa Orde Lama, Islam telah diberi tempat tertentuu dalam konfigurasi yang oaradoks terutama dalam dunia politik. Sedangkan pada masa Orde Baru tampaknya Islam diakui hanya sebatas sebagai landasan moral bagi pembangunan bangsa dan Negara.
Ajaran islam pada hakikatnya terlalu dinamis untuk dapat dijinakkan begitu saja. Berdasarkan pengalaman melawan penjajah yang tak mungkin dihadapi dengan perlawanan fisik, tetapi harus melalui pemikiran-pemikiran dan kekuatan organisasi. Seperti :
- Budi Utomo (1908) – Taman Siswa (1922)
- Sarikat Islam (1911) – Nahdhatul Ulama (1926)
- Muhammadiyah (1912) – Partai Nasional Indonesia (1927)
- Partai Komunis Indonesia (1914)
Menurut Deliar Noer, selain yang tersebut diatas masih ada organisasi islam lainnya yang berdiri pada masa itu, diantaranya:


- Jamiat Khair (1905)
- Persyarikatan Ulama ( 1911)
- Persatuan Islam (1920)
- Partai Arab Indonesia (1934)
Organisasi perbaharu terpenting dikalangan organisasi tersebut diatas, adalah Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H Ahmad Dahlan, dan Nadhatul Ulama yang dipelopori oleh K.H Hasyim Asy’ari.
Untuk mempersatukan pemikiran guna menghadapi kaum penjajah, maka Muhammadiyah dan Nadhatul Ulama bersama-sama menjadi sponsor pembentukan suatu federasi islam yang baru yang disebut Majelis Islam Ala Indonesia ( Majelis Islam Tertinggi di Indonesia ) yang disingkat MIAI, yang didirikan di Surabaya pada tahun 1937.
Masa pemerintahan Jepang, ada tiga pranata sosial yang dibentuk oleh pemerintahan Jepang yang menguntungkan kaum muslim di Indonesia, yaitu :
a. Shumubu, yaitu Kantor Urusan Agama yang menggantikan Kantor Urusan Pribumi zaman Belanda, yang dipimpin oleh Hoesein Djayadiningrat pada 1 Oktober 1943.
b. Masyumi, ( Majelis Syura Muslimin Indonesia ) menggantikan MIAI yang dibubarkan pada bulan oktober 1943, Tujuan didirikannya adalah selain untuk memperkokohkan Persatuan Umat Islam di Indonesia, juga untuk meningkatkan bantuan kaum muslimin kepada usaha peperangan Jepang.
c. Hizbullah, ( Partai Allah atau Angkatan Allah ) semacam organisasi militer untuk pemuda-pemuda muslimin yang dipimpin oleh Zainul Arifin. Organisasi inilah yang menjadi cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI).

3. Fase Setelah Kemerdekaan
1)      Departemen Agama
            Sebagaimana telah disebutkan, sejak awal kebangkitan nasional, posisi agama sudah mulai dibicarakan kaitannya dengan politik atau Negara. Ada dua pendapat yang didukung oleh dua golongan yang bertentangan tentang hal itu. Satu golongan berpendapat, Negara Indonesia merdeka hendaknya merupakan sebuah Negara “sekuler”, negara yang dengan jelas memisahkan persoalan agama dan politik, sebagaimana diterapkan di Negara Turki oleh Mustafa Kamal. Golongan lainnya berpendapat, Negara Indonesia merdeka adalah “Negara Islam”. Kedua pendapat itu terlihat  misalnya, sebelum kemerdekaan, dalam polemic antara Soekarno dengan Agus Salim, kemudian dengan M. Natsir di akhir tahun 1930-an dan awal 1940-an; diskusi dan perdebatan di dalam siding-sidang BPUPKI yang menghasilkan Piagam Jakarta. Setelah kemerdekaan, persoalan itu juga terangkat kembali di dalam siding-sidang konstituante hasil pemilihan umum 1955 M yang berakhir dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yaitu kembali kepada UUD 1945.[7]
            Meskipun persoalan itu belum selesai dipecahkan, tampaknya para pemimpin bangsa Indonesia sudah bergerak jauh ke depan, memikirkan alternative “jalan tengah” dari dua [endapat tersebut. Mereka menganjurkan suatu Negara yang mempunyai dasar keagamaan secara umum dan pemerintahan engakui nilai keagamaan yang positif, karena itu akan memajukan kegiatan keagamaan. Dalam kerangka itulah, Departemen Agama didirikan.
            Tujuan dan fungsi Departemen Agama yang dirumuskan pada tahun 1967 adalah sebagai berikut :[8]
1.      mengurus serta mengatur pendidikan agama di sekolah-sekolah, serta membimbing perguruan-perguruan agama
2.      mengikuti dan memperhatikan hal yang bersangkutan dengan agama dan keagamaan
3.      member penerangan dan penyuluhan agama
4.      mengurus dan mengatur peradilan agama serta mengelesaikan masalah yang berhubungan dengan hokum agama
5.      mengurus dan memperkembangan IAIN, perguruan tinggi agama swasta dan pesantren luhur, serta mengurus dan mengawasi pendidikan agama pada perguruan-perguruan tinggi
6.      mengatur, mengurus, dan mengawasi penyelenggaraan ibadah haji.


2)      Pendidikan
            Sebagaimana telah disebutkan, salah satu tugas penting yang dilakukan Departemen Agama adalah menyelenggarakan, membimbing, dan mengawasi pendidikan agama. Lembaga-lembaga pendidikan Islam sudah berkembang dalam beberapa bentuk pendidikan Islam zaman penjajahan Belanda. Salah satu bentuk pendidikan Islam tertua di Indonesia adalah pesantren yang tersebar di berbagai pelosok. Tidak ada hubungan antara satu dengan yang lain. Lembaga ini dipimpin oleh seseorang ulama atau kiai. Untuk tingkat kelanjutan, tidak ada kurikulum yang jelas pada lembaga ini. Kemajuan seorang penuntut sangat ditentukan oleh kerajinan, kesungguhan, dan ketekunan masing-masing.
            Setelah merdeka, terutama setelah berdirinya Departemen Agama, persoalan pendidikan agama Islam mulai mendapat perhatian lebih serius. Badan Pekerja Komite Nasional Pusat dalam bulan Desember 1945 menganjutkan agar pendidikan madrasah diteruskan. Badan ini juga mendesak pemerintah agar memberikan bantuan kepada madrasah. Departemen Agama dengan segera membentuk seksi khusus yang bertugas menyusun pelajaran dan pendidikan agama Islam dan Kristen, mengawasi pengangkatan guru-guru Agama, dan mengwasi pendidikan agama. Pada tahun 1946, Departemen Agama mengadakan latihan 90 guru agama, 45 orang diantaranya kemudian diangkat sekolah guru dan hakim Islam di Solo.[9]
3)      Hukum Islam
            Salah saatu lembaga Islam yang sangat penting yang juga ditangani oleh Departemen Agama adalah hokum atau syariat. Pengadilan Islam di Indonesia membatasi dirinya pada soal-soal hokum muamalat bersifat peribadi. Hokum muamalat pun terbatas pada masalah nikah, cerai, rujuk; hokum waris itu. (paraid/manicure faraidh, wakaf hibah dan baitul mal.[10]
Keberadaan lembaga keadilanagama di masa Indonesia merdeka adalah kelanjutan dari masa colonial belanda. Pada masa pendudukan adalah kelanjutan dari masa colonial Belanda. Pada masa pendudukan Jepang, pengadilan agama tidak mengalami perubahan. Setelah Indonesia merdeka jumlah pengadilan agama bertambah,tetapi administrasinya tidak segera dapat diperbaiki. Para hakim Islam tampak keta dan kaku, karena hanya berpegang pada ahab Syafi’i. Sementara itu, belum ada kitab undang-undang yang seragam yang dapat dijadikan pegangan para hakim dan pengadilan Agama didominasi oleh golongan tradisionalis. Karena itulah, sekolah Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) dan Fakultas Syariah di perguruan-perguruan tinggi Islam didirikan.
4)      Majelis Ulama Indonesia (MUI)
            Disamping Departemen Agama, cara lain pemerintah Indonesia dalam menyelnggarakan administrasi Islam ialah mendirikan Majelis Ulama. Suatu prigram pemerintah, apalagi yang berkenan dengan agama, hanya bisa berhasil dengan baik bila disokong oleh ulama. Karena itu, kerja sa,a antara pemerintah da ulama perlu terjalin dengan baik. Pertama kali Majelis Ulama didirikan pada masa pemerintahan Soekarno. Majelis ini pertama-tama berdiri di daerah-daerah karena diperlukan untuk menjamin keamanan. Di Jawa Barat berdiri pada tanggal 12 Juli 1958 diketuai oleh seorang panglima Militer. Setelah keamanan sudah pulih dari pemberontakan DI-TII tahun 1961, Majelis Ulama ini bergerak dalam kegiatan-kegiatan di luar persoalan keamanan, seperti dakwah dan pendidikan.[11]
            Dalam pedoman Dasar Majelis Ulama Indonesia yang disahkan dalam kongres tersebut,, Majelis Ulama berfungsi :
1. memberi fatwa dan nasehat mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatn kepada pemerintahan dan umat Islam umumnya sebagau amar ma’ruf nahi mungkar, dalam usaha meningkatkan ketahanan nasional.
2.   mempererat ukhuwah islamiyah dan memelihara serta meningkatkan suasana kerukunan antarumat beragama dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.
3.   mewakili umat Islam dalam konsultasai antarumat beragama.
4.   penghubung antara ulama dan umara (pemerintahan) serta menjadi penerjemah timbal balik antara pemerintahan dan umat guna menyukseskan pembangunan nasional.


[1] Taufik Abdullah (Ed.), Sejarah Umat Islam Indonesia, (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 1991), hlm. 110.
[2] Baca A.C Milner, “Islam dan Negara Muslim”, dalam Azyumardi Azra (Ed.) , Perspektif Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989)
[3] Taufik Abdullah, op.cit., hlm. 111.
[4] Harry J. Benda, The Crescent and the Rishing Sun: Indonesian Islam under Javanese Occupation 1942-1980, Terj. Daniel Dhakidae, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), hlm. 33.
[5] Thohir Ajid, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam : Melacak Akar-Akar Sejarah, Sosial, Politikm dan Budaya Umat Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 304.
[6] B.J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1970, (Jakarta: Grafitipers, 1985), hlm. 16.
[7] Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 306.
[8] Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1983), hlm. 36-37.
[9] Ibid, hlm. 59.
[10] Ibid, hlm. 84.
[11] Ibid, hlm. 125-126.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Web Hosting Bluehost