Selasa, 10 Juli 2012

Kisah Tukang Rumput Naik Haji (Mengenang Tragedi Tsunami)

oke sahabat pengetahuan21..
nii sangat bermanfaat :)


#Teruntuk saudara-saudara kami yang telah pergi 8 tahun lalu dalam Tsunami Dahsyat 26 Des 2004. Selamat jalan, sampai jumpa lagi nanti…#

Rezeki Allah sungguh tak terduga, zigzag dan penuh romantika. Laksana kisah berhaji, yang berbuku-buku kalau ditulisi. Dulu mungkin kita ingat: ada haji abidin (haji atas biaya dinas), haji abakar (haji atas biaya Golkar), haji boh itek (naik haji dengan menjual telur bebek) dan banyak lagi sebab lainnya. Saat berhaji 2005 lalu, saking penasarannya, saya sempat menanyai beberapa rekan bagaimana cara hingga bisa berhaji. Apa rahasianya? Saya menduga, orang pergi haji pastilah sudah kaya dan mapan, alias berkecukupan. Ternyata saya salah, kisahnya bermacam ragam, tetapi hampir seirama: ada yang menjual kambing, lembu, kerbau atau tanah, ada yang usaha bubuk kupi, ada yang buat timba dari kaleng dan ada yang jualan manisan gula merah untuk anak-anak. Bahkan ada seorang nenek-nenek yang cuma jualan sayur-mayur di kaki lima pasar, tapi toh bisa berhaji juga. Artinya mereka bukanlah orang yang benar-benar kaya, tetapi mereka benar-benar punya niat dan tekad untuk berhaji.

Ternyata Allah betul-betul memilih tamu-tamuNya. Mereka yang terpilih bukanlah orang-orang ”the have”, tetapi ”a dreamer” dan ”brave hearth”. Maksudnya mereka bukanlah orang-orang ”berpunya”, tetapi betul-betul ”punya keinginan yang kuat” dan ”hati yang berani”. Jadi, kalau mau berhaji, bermimpilah dan jadilah pemberani. Nggak percaya? lihatlah sekeliling.. Orang-orang yang naik haji bukanlah semua naik Innova, terkadang cuma punya sepeda unta. Bahkan Bang Ameer Hamzah (penceramah Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh) naik haji hanya karena doa orang gila. Dan saya pun naik haji, berkat doa mertua….

Begini kisahnya. Setelah mengikuti Seminar Career Planning di FMIPA Unsyiah, tahun 1995 yang digagas oleh Bapak Saiful Mahdi (dosen FMIPA Univeritas Syiah Kuala Banda aceh, sekarang Direktur ICAIOS) dan diisi oleh Pak Samsul Bahri (PLN). Semoga Allah merahmati mereka berdua (Amin). Saya menulis di My Map of Life (Peta Hidup Saya), bahwa saya akan berhaji pada usia 45 (tahun 2020 nanti). Tetapi rupanya Allah mempercepat 15 tahun ke 2005. Caranya? Di luar dugaan, hanya dengan menjadi cleaning service, tukang cabut rumput, tukang petik cherry dan tukang angkat kentang di Adelaide, Australia.

Awal Agustus 2003, saya memboyong istri ke Adelaide (Australia Selatan) untuk menemani kuliah S2. Saat itu beasiswa ADB melalui TPSDP Grant hanya untuk satu orang saja, tidak mengcover istri. Tetapi saya tidak takut, saya yakin: rezeki Allah ada dimana-mana. InsyaAllah saya tidak akan membuatnya keleparan disana. Hingga suatu malam datanglah telepon dari mertua (ibu isteri). Beliau mengabarkan bahwa tidak bisa berhaji tahun depan (2004) dengan kawan-kawan sekampung, dan waiting list untuk tahun depan karena telat bayar. Padahal beliau sudah berumur 70 tahun, sehingga sangat butuh pendamping. Entah atas pertimbangan apa, beliau meminta kami untuk mengawani. Padahal banyak saudara lain lebih mampu, karena beliau punya 9 orang anak yang sudah lebih mapan dari kami, karena istri saya adalah anaknya yang ke 8.

Saya bilang sama isteri ”kita tidak punya dana, beasiswa 1 orang pun kita pakai berdua. Tapi supaya mamak tidak kecewa, kita coba kerja apa saja yang bisa dan kumpulkan dana untuk itu. Kalaupun nggak cukup untuk berdua, adek saja yang kawani beliau”. Deal. Akhirnya mulailah kami kerja: apa saja, asal halal. Isteri saya jadi asisten chef di sebuah restoran Indonesia di kota Adelaide, Pondok Bali namanya. Saya pertama-tama mencoba untuk mengumpulkan botol-botol bekas dan menjualnya ke tempat penampungan. Sayangnya harganya nggak sebanding dengan capeknya. Sehari saya paling banyak dapat 15 dolar. Saya ingat, dengan uang mengumpuli botol itu saya belikan hadiah untuk istri dan dia senang sekali. Kemudian, saya cari kerja lain, hampir saja saya bekerja sebagai tukang bersih permen karet di lantai sebuah pub. The Heaven namanya. Tapi hati nurani menolak.

Untungnya, ada yang berbaik hati. Bapak angkat saya, Pak Dadang Purnama, menawarkan saya kerja menggantikannya di Britam karena pendidikan beliau sudah selesai dan harus kembali ke Indonesia. Beliau bahkan memberikan mobilnya gratis untuk saya. Semoga Allah merahmati beliau. Amin. Kerja disini ialah menangani kebersihan sebuah studio photo terkenal di Adelaide, dari membuang sampah hingga memastikan kebersihan seluruh ruangan dan perabotan kantor tersebut. Yang saya sukai disini ialah jam kerjanya fleksibel dan tempatnya lumayan elite. Biasanya saya kerja setelah shalat magrib. Tidak cukup disitu, saya juga mendaftar menjadi cleaning service profesional di Tempo Services, sebuah perusahaan yang menangani kebersihan supermarket, perkantoran elite, rumah sakit hingga universitas. Tiap hari, sebelum subuh saya sudah berangkat kerja, pulang kuliah jam 5 lanjut kerja lagi. Kadang-kadang baru selesai tengah malam dan saya harus berlari-lari mengejar tram dan bus terakhir. Ada kalanya harus menelpon taxi untuk pick-up karena sudah lewat tengah malam.

Kalau liburan musim panas tiba, maka berkah pekerjaan sampingan bertambah hingga 3 bulan. Kerja sampingan yang saya lakukan saat itu seperti mencabut rumput di nursery (tempat pembibitan), memetik buah cherry di batang dan mengangkat/menyusun karung-karung buah kentang ukuran 5, 10, 15 dan 20 kilo. Lumayan berat, kerja dari jam 8 hingga jam 6 sore. Dari hari ke hari otot-otot bisep rasanya sudah seperti Ade Ray. Bahkan saya sempat bekerja sebagai surveyor untuk kenyamanan penonton footy, sejenis Rugby di Amerika. Sementara itu, istri saya juga mengambil sampingan di bagian sortir kentang, yaitu memisahkan antara kualitas ekspor, pasar lokal dan kentang rusak. Pernah suatu hari karena panen raya, istri saya terpaksa bekerja 15 jam dari pukul 8 pagi hingga pukul 1 dinihari. Seru dan sangat melelahkan. L

Bagi saya, diantara pekerjaan itu semua, cabut rumputlah yang paling berkesan. Walau tidak sampai sebulan lamanya. Kami berangkat setelah shalat subuh dan baru pulang menjelang magrib. Bayangkan saja, cabut rumputnya dari jam 8 pagi hingga pukul 6 sore dan letaknya jauh di luar kota. Sepulang dari situ saya melanjutkan lagi “pekerjaan rutin” saya sebagai cleaning service. Nursery, tempat pembibitan kami kerja itu luasnya lebih dari satu kilometer tiap seginya. Bermacam-macam jenis bibit tersedia disana. Dari bunga-bungaan hingga pohon-pohonan. Dari bunga ”po siploh (pukul sepuluh)” (bunganya mekar saat pukul 10) hingga mawar berduri. Dari bibit anggur hingga bibit pohon apel besar. Kami mencabut rumput di dalam pot dibawah pohon-pohon tersebut sambil merangkak.

Merana sekali kalo lagi cabut rumput dibawah pokok mawar, tangan dan badan bahkan muka tanpa sadar tergores sama duri-durinya. Selain sakit pinggang, jari-jaripun jadi nggak ada rasa lagi. Esok harinya, ketika bangun pagi semua jari tangan terasa ”cekang” (kaku) semua. Sama istri tangan diurut sedikit-sedikit dengan minyak zaitun, baru kemudian normal lagi dan siap dibawa lagi untuk bekerja. Duh, kasihan sekali jari-jari tangan ini. Semoga bisa menjadi penghantar ke surga. Amin. Pekerjaan begini terus menerus kami lakukan hingga hampir sebulan lamanya. Dan alhamdulillah ya, hingga sekarang jari-jari tangan masih baik-baik saja. Buktinya, cerita ini bisa tersaji ke hadapan pembaca berkat jari-jari yang baik ini. Pun, hampir setengah dana haji terkumpul dari cabut rumput ini. Seingat saya, jumlahnya lebih dari 2000 dolar. Sekali lagi, summa alhamdulillah.

Tidak semua pekerjaan memberatkan, ada juga yang lucu dan menyenangkan. Itulah saat-saat kami menjadi pemetik buah cherry di perbukitan Handolf. Cherry adalah buah yang sangat spesial dan biasanya paling mahal diantara buah-buahan lokal Australia. Bila anggur dijual paling tinggi 6 dolar sekilo maka cherry dilepas paling murah 14 dolar sekilonya. Maka itu, pemetiknya juga dibayar mahal yaitu 16 dolar (sekitar 140 ribu rupiah saat itu) per jam. Saat itu bersama dengan 11 orang Indonesia lainnya kami menyelesaikan pemetikan kurang dari seminggu. Biasanya, tiap batangnya pemetikan saya lakukan bersama istri, saya bagian atas dengan memakai ladder, istri di bagian bawah memetik buah yang tumbuh di atau dekat batang. Ada pameo diantara para pemetik yaitu ”buah cherry yang sangat besar dan masak di batang, haram dimasukkan ke keranjang, karena rasanya sangat manis dan akan cepat busuk, jadi tempatnya adalah di dalam mulut”. Hmmm, manis sekali, rasanya sampai ke hati. J

Akhirnya, bulan oktober 2004 masa penyetoran haji untuk tahun berikutnya tiba. Kami pun mencoba menghitung hasil keringat kami. Alhamdulillah, terkumpul 6.000 dolar (sekitar 40 juta), cukup untuk berdua. Sungguh, Allah baik sekali. Semua ini berkat doa mertua dan orang-orang yang sayang sama kami. Dan dana itupun segera kami kirimkan melalui rekening Yanti, kemenakan kami di Banda Aceh. Malang tak bisa ditolak, untung tak bisa diraih. Setelah mendaftarkan haji kami dan membayar setoran awal serta menitipkan buku tabungan haji kepada neneknya (mertua saya), diapun menghadap Allah bersama keluarganya pada tsunami desember 2004. Kami hanya mendapatkan jasadnya, sedangkan jasad kakak (ibunya-Kak Ti), ayah (Bang Cek) dan satu adeknya (Ana) tidak ditemukan sama sekali. Begitu juga abang pertama istri (Bang Jumadi), keluarga hanya mendapatkan mobilnya tetapi tidak menemukan jasadnya. Padahal mereka sangat berhasrat menjemput kami ketika pulang dari Australia nanti. Sayang, Allah telah terlebih dahulu menjemput mereka lewat laskar “tsunami”nya. Selamat jalan, insyaAllah kini roh kalian sedang beterbangan diatas kebun-kebun surga sebagai karunia Allah atas pahala syuhada. Semoga kita bisa berjumpa lagi nantinya… Amin.

Kejadian ini menambah kesedihan ibu mertua saya. Sehingga saya yang baru wisuda 6 hari kala itu, diperintahkan untuk segera pulang. Padahal saat itu kami baru saja membeli tiket pesawat mau keliling Australia, hasil dana banting tulang kami. Tapi nampaknya mamak lebih butuh kami disana, sehingga kami memutuskan pulang dan menjual kembali semua tiket. Ketika mengecek kesehatan pada dokter menjelang pulang, kembali kami di”kaget”kan. Ternyata istri saya hamil! Itu adalah anak pertama setelah 5 tahun menikah. Ternyata Allah itu sungguh baik. Banyak sudah usaha kami untuk punya anak selama di tanah air, tetapi justru dapatnya ketika disini. Untuk itu dokter menyarankan kami menunda dulu kepulangan selama 15 minggu agar calon bayi cukup kuat menempuh perjalanan panjang menuju tanah tsunami. Akhir Februari barulah kami kembali ke Aceh dengan transit di Bali, Jakarta dan Medan.

Desember 2005, barulah kami berangkat ke tanah suci, dipimpin oleh Abu Madinah, seorang ulama Aceh terkenal yang menghabiskan 15 tahun menuntut ilmu di Madinah. Yang terkesan adalah: saya dipercayakan azan saat sholat subuh diatas pesawat menuju tanah suci, puluhan ribu kaki diangkasa bumi. Hal itu terus berulang, bahkan saat wukuf di Arafah saya juga dipercayakan untuk mengumandangkan azan. Betullah kata orang yang pernah berhaji bahwa: di tanah suci kita akan mengerjakan apa yang sering kita lakukan di tanah air. Inilah buah dari seringnya azan di meunasah. Sejak kecil hingga sekarang saya memang sangat senang kalau bisa melakukan azan di meunasah. Dan inilah yang terulang disini. Satu lagi, ada perasaan aneh saya rasakan saat wukuf. Yaitu: saya menjadi sadar bahwa jasad ini bukan punya saya. Saat itu, jangankan mandi dan memakai minyak wangi, menggaruk badan saja tak boleh. Padahal badan ini kan punya saya. Ternyata benar, haji lebih dahsyat dari puasa. Kalo selama puasa tidak boleh makan makanan punya sendiri, di haji kita bahkan tak punya hak akses atas tubuh sendiri.

Hal lain yang saya liat, ada jemaah yang tiba-tiba ”hilang akal” saat wukuf. Beliau sibuk mengorek-ngorek kotak sampah mencari entah apa. Ada yang harus dibawa dengan ambulan, padahal sebelumnya sangat pede karena sudah pernah punya pengalaman pergi sebelumnya. Ada yang sakit dari sejak berangkat hingga pulang karena curiga uangnya diambil pimpinan. Ada yang kejebak dan pingsan dalam lift setelah menuduh orang lain membuang daging yang dikeringkan diatas kulkas. Ada yang ditinggalkan bus karena mencari orang-orang yang tertinggal. Dan banyak kisah lainnya.

Kisah saya antara lain: saya sempat takjub pada Alexander Cristie, saat menyadari jam tersebut masih lengket di tangan hingga seluruh rukun dan wajib haji selesai. Padahal betapa berdesak-desaknya orang selama kami melakukan. Sayangnya, saya tidak mengucapkan istighfar untuk rasa itu, sehingga sesampai di penginapan saya tersadar rupanya pergelangan tangan saya telah kosong! Kemudian, saya bisa berjumpa kawan lama waktu di Adelaide (Pak Herfizal asal Padang) setelah berdoa (agar ketemu) di Masjid Nabawi. Padahal saat itu, jutaan orang ada disana. Dan kami betul-betul ketemu!

Yang terakhir, saya tiga kali harus bolak-balik masuk Raudhah (tempat makbul doa, terletak antara rumah nabi dan mimbarnya) untuk mendoakan suami kakak ipar yang sudah tiga kali masuk ICCU di Aceh karena komplikasi paru-paru dan diabetes. Beliau bahkan sudah dipeuintat (dihantarkan) keluarganya yang sudah rela melepas kepergiannya. Toh beliau sehat kembali dan sehat kembali setiap kali saya berdoa di Raudhah. Bahkan sampai saya kembali ke tanah air, beliau masih kelihatan sehat. Baru beberapa tahun kemudian beliau meninggal karena kembali ke kebiasaan lama yaitu merokok dan mengkomsumsi banyak makanan berkolesterol tinggi seperti daging kambing dan sejenisnya.

Don't forget Follow me on Twitter Ajiez

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Web Hosting Bluehost