Selasa, 10 Juli 2012

Kisah Mbah Warah, Tukang Pijat Yang Naik Haji

oke sahabat pengetahuan21..
nii sangat bermanfaat :)



Di pinggiran sungai desa Sembung Parengan Tuban, hiduplah seorang nenek tua yang umurnya sekitar 73 tahun. Tinggal di rumah yang sangat sederhana. Orang-orang memanggilnya Mbah Warah, walaupun nama aslinya adalah Munawwarah.

Hampir setiap hari, rumahnya selalu dipenuhi orang-orang yang ingin merasakan pijatan tangan Mbah Warah, termasuk keluarga saya. Mulai habis subuh sampai habis isya’. Mulai yang sekadar ingin mengendorkan otot sampai orang sakit parah. Malai bayi sampai tua renta. Itu semua dilayaninya dengan penuh kesabaran. Walaupun kebanyakan orang-orang yang minta pijat tidak membayar, beliau tetap saja melayaninya. Beliau menyadari, ekonomi masyarakat desa yang serba kekurangan.

Itulah salah satu alasan, kenapa orang-orang memilih untuk meminta pijat Mbah Warah daripada berobat ke rumah sakit yang biayanya bisa mencapai jutaan rupiah. Bahkan, ada yang sengaja menitipkan anggota keluarganya di rumah Mbah Warah karena sakit jiwa alias gila. Itupun dirawatnya dengan penuh ketekunan sampai saat ini, walaupun keluarganya pun sudah lepas tangan. Semua beliau lakukan semata untuk mencari ridla Allah.

Mbah Warah juga menjadikan memijat sebagai sarana untuk berdakwah, banyak orang desa yang asalnya tidak tidak shalat menjadi shalat, dikarenakan beliau hanya meminta kepada orang sakit yang dipijatnya itu jika sembuh agar selalu shalat lima waktu berjamaah, karena hakekat yang menyembuhkan adalah Allah swt. Dan hasil dakwahnya begitu manjur dan terasa lebih mengena daripada pengajian umum yang menghabiskan dana, tetapi tidak berdampak nyata.

Dan Allah pun tidak menyia-nyiakan hamba-Nya yang selalu menolong orang lain. beliau dipanggil oleh Allah untuk menunaikan rukun Islam yang ke-lima, yaitu ibadah haji. Dan atas takdir Allah, beliau berada satu regu dengan keluarga saya. Karena kami sama-sama dari Tuban yang berangkat dari Surabaya, kami sudah sering bersama sejak di tanah air. Saat itu saya sudah merasakan adanya getaran. Getaran itu bernama kemudahan.

Tentu saja kemudahan itu datangnya dari Allah swt. Dan kemudahan itu begitu terasa ketika sampai di tanah suci. Hampir semua urusan berjalan dengan penuh kemudahan. Saya hanya diam, sedangkan hati saya selalu memuji kepada Allah yang telah menganugerahkan saya bisa behaji dengan ibu dan bapak, paman serta Mbah Warah yang dirinya penuh aura keikhlasan.

Walaupun sejak awal beliau meminta tolong untuk membimbingnya ketika di tanah suci karena tidak membaca tulisan kecuali ayat-ayat suci Al-Qur’an., saya hanya tersenyum dan mengucapkan, insya Allah. Hal ini karena saya sadar bahwa yang mampu membimbing hanyalah Allah, apalagi saat di tanah suci.. Kesombongan sedikit saja bisa berkibat fatal terhadap diri saya sendiri. Sudah banyak contoh Kiai yang mengaku sudah berhaji puluhan kali dan mengaku hafal jalanan, ternyata berulang kali tersesat di sana. Saya tidak mau seperti itu.

Toh ketika thawaf dan melakukan berbagai macam ritual haji, beliau yang umurnya 70 tahun lebih ini sepak terjangnya masih mengalahkan mereka yang umurnya 30 tahunan. Dalam hal fisik, saya bukannya menuntun beliau tetapi lebih tepat kalau saya katakan bahwa sayalah yang dituntun. Memang saya bisa komunikasi Bahasa Arab, tetapi itu bukan jaminan bisa selalu membimbing, melainkan sedikit membantu kebuntuan komunikasi, terutama terhadap sopir yang rata-rata dari Mesir.

Saya merasa bahwa itu semua adalah buah dari keikhlasan Mbah Warah ketika di tanah air. Doa orang-orang miskin yang ditolongnya telah dikabulkan oleh Allah, sehingga orang Arab yang notabenenya tidak pernah mengetahui keseharian beliau dan tidak kenal pun ikut menolong ketika Mbah Warah membutuhkan pertolongan. Bayangkan jika orang gila yang hilang ingatan pun menangis ketika di tinggalkannya ke tanah suci, apalagi bagi saya yang masih berakal sehat.

Mengenang itu semua, saya hanya mampu meneteskan air mata kebahagiaan. Saya merasa bisa menyaksikan pancaran ahli surga yang hidup di dunia. Saya pun memberanikan untuk menulis kisah ini disebabkan saya yakin bahwa beliau tidak akan membaca tulisan ini, dikarenakan beliau memang tidak bisa membaca huruf maupun angka kecuali Al-Qur’an saja, sehingga saya berharap keikhlasan itu tetap melekat dalam dirinya.

Don't forget Follow me on Twitter Ajiez

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Web Hosting Bluehost